Bea Cukai Perketat Gerak Pelaku Jasa Titipan

Hingga September 2019, Bea Cukai melakukan 422 penindakan atas jastip

Jakarta, Ruang gerak bagi aktivitas jasa titip (Jastip) barang semakin sempit. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memperketat pengawasan barang dari luar negeri, termasuk bawaan para pelancong dan pelaku bisnis jastip.

Bea Cukai mengendus praktik nakal pelaku jastip dan pembeli barang dari e-commerce luar negeri. Praktik nakal berlangsung dengan melakukan spliting atau memecah barang bawaan atau belanjaan dari luar negeri, agar terbebas dari pajak impor.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut menyebutkan, barang bawaan dari luar negeri yang terbebas dari pajak impor hanya sebesar US$ 500 per orang.

Bea Cukai baru saja menindak pelaku jastip di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (25/9) lalu. Pelaku jastip memanfaatkan 14 orang dalam satu rombongan untuk memecah barang belanjaan dari luar negeri. Penangkapan ini dilakukan Bea Cukai setelah memantau akun Instagram @titipdongkak yang memiliki pengikut hingga 487.000 akun.

“Masing-masing orang setidaknya membawa tiga hingga empat jenis barang, yang terdiri dari tas, sepatu, iPhone 11, kosmetik, pakaian, dan perhiasan,” ungkap Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, Jumat (27/9).

Menurut Heru, operasi penerbitan jastip tahun ini sering Bea Cukai lakukan. Hingga September lalu, Bea Cukai melakukan 422 penindakan atas jastip, dengan total hak negara yang berhasil diselamatkan Rp 4 miliar.

Dari 422 kasus tersebut, Heru bilang, rute penerbangan yang paling sering pelaku jastip lakukan antara lain berasal dari Bangkok, Singapura, Hong Kong, Guangzhou, Abu Dhabi, dan Australia.

Kasus jastip tahun ini terdiri dari 140.863 pemesanan atau consignment notes (CN), dengan nilai Rp 28,05 miliar. Jumlah ini naik pesat dibanding tahun lalu hanya 72.592 CN senilai Rp 4 miliar.

Dengan penindakan ini, Bea Cukai meminta pelaku Jastip membuat Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) dan membayar kewajiban berupa bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Jika pelaku jasa titipan ternyata tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), maka petugas akan meminta untuk membuat NPWP agar datanya bisa ditindaklanjuti oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Kewajiban pajak harus mereka bayar meliputi bea masuk sebesar 10%, pajak penambahan nilai (PPN) 10%, pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 impor 2,5%-22,5%, dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) hingga 50%.

Mengganggu industri

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengapresiasi penindakan bagi pelaku jastip. Keberadaan jastip menjadi tidak adil bagi pengusaha dalam negeri yang telah mengimpor barang sesuai dengan ketentuan berlaku. “Ketidakadilan ini membuat bisnis terganggu. Secara angka sulit menghitungnya, yang pasti Jastip nakal telah membuat pengembangan pelan, penyerapan tenaga kerja terganggu, dan produksi industri dalam negeri bisa menurun,” tegas Tutum.

Menurut Ronny Boko, Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH), Pemerintah seharusnya gampang menindak aktivitas jastip nakal. “Tinggal dipantau saja, seberapa sering mereka keluar negeri,” imbuh Ronny.

Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia(Apindo) Eddy Hussy meminta kepada pelaku jastip mengikuti ketentuan yang berlaku, agar persaingan usaha berjalan adil. “Industri lokal, kan harus kita lindungi bersama,” ujar Eddy.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only