Belanja Produktif Harus Dinaikkan Hadapi Pelebaran Defisit

JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendi Manilet menilai, eksekusi pada belanja produktif harus dilakukan di tengah pelonggaran defisit anggaran sampai dengan 2,2 persen hingga akhir tahun. Khususnya terhadap belanja yang memberikan efek multiplier.

Dari sisi fiskal, Yusuf menjelaskan, langkah pemerintah untuk tidak melakukan budget cut atau pemotongan anggaran merupakan langkah tepat. Meski berpotensi menjaga angka defisit anggaran, langkah ini akan mereduksi daya dorong kebijakan fiskal untuk menstimulan pertumbuhan ekonomi. “Oleh karena itu, kalaupun anggaran belanja tetap, belanjanya ya harus produktif,” tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (27/10).

Yusuf menuturkan, salah satu belanja yang harus dijadikan prioritas adalah belanja modal. Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), belanja modal Kementerian/ Lembaga (K/L) per Januari hingga Agustus 2019 baru mencapai sekitar Rp 63 triluun atau hanya memenuhi 33,3 persen dari pagu yang ditetapkan dalam APBN 2019, Rp 189,3 triliun.

Nilai tersebut bahkan mengalami penurunan 10,9 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp 70,7 triliun. Yusuf mengatakan, belanja modal harus lebih ditingkatkan mengingat dampaknya yang lebih berskala besar. Selain itu, belanja lain seperti bantuan sosial dan subsidi perlu terus diawasi.

Sementara itu, dalam rangka menutup defisit, pemerintah intensif menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Yusuf menuturkan, langkah ini merupakan konsekuensi dari pelambatan penerimaan perpajakan yang disebutkan Kemenkeu sebagai dampak dari pelemahan ekonomi global. “Upaya ini akan efektif, apalagi diikuti oleh penurunan suku bunga acuan, sehingga cost of fund menjadi lebih murah,” katanya.

Selain itu, untuk menutup defisit mungkin pemerintah perlu menunda sejenak program restitusi setidaknya sampai tahun depan. Sebab, Yusuf mengatakan, program ini merupakan salah satu faktor tergerusnya penerimaan pajak, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Padahal, PPN ini menyumbang penerimaan pajak terbesa kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh).

Tapi, Yusuf mengingatkan berbagai konsekuensi penerbitan SBN. Di antaranya, perebutan likuidutas di masyarakat akan semakin ketat mengingat banyak yang terserap ke SBN. Dampaknya, pihak swasta akan semakin sulit mencari sumber pembiayaan untuk ekspansi dan dalam jangka panjan berpotensi meningkatkan utang luar negeri swasta.

Disamping itu, Yusuf menambahkan, penambahan utang dari SBN juga dapat berdampak pada penambahan beban utang pada ruang belanja APBN. “Kondisi ini yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan ke depannya,” ujarnya.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only