Insentif Perpajakan Diharapkan Dorong Peningkatan Tax Ratio

JAKARTA — Peningkatan penerimaan pajak diyakini dapat mendukung kebijakan pembangunan pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua. Namun, tantangannya saat ini adalah penerimaan pajak yang semakin menurun, sementara beban utang meningkat.

Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, penerimaan pajak menjadi salah satu program utama dengan adanya amnesti pajak, berbagai insentif perpajakan, serta agenda reformasi perpajakan 2017-2020. Menurut Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam, agenda tersebut tampaknya akan kembali dilakukan pada periode kedua ini.

“Tampaknya insentif pajak tetap jadi andalan pada periode kedua Presiden Jokowi untuk merespons situasi perekonomian. Penurunan tarif PPh badan sepertinya tinggal menunggu waktu,” ujar Darussalam kepada Republika.co.id, Kamis (24/10).

Kedua instrumen yang pro terhadap iklim investasi tersebut akan meningkatkan basis ekonomi dan kemampuan membayar pajak lebih baik. Kendati begitu, strategi relaksasi tersebut berpotensi memberikan dampak risiko fiskal pada jangka pendek.

Tercatat, berbagai keringanan pajak (tax expenditure) pada 2017 saja telah mencapai 1,14 persen dari PDB, menurut data Kementerian Keuangan. Makin gencarnya insentif pajak jelas meningkatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (revenue forgone).

“Oleh sebab itu, pemerintah perlu secara rutin mengevaluasi efektivitas pemberian insentif yang sekaligus bisa mengurangi kesenjangan kebijakan (policy gap),” katanya.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur dan SDM membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga rasio pajak (tax ratio) yang masih rendah, yakni di bawah 11 persen, harus dapat diatasi.

Sebagai negara berkembang, besarnya porsi shadow economy sebagai sektor yang sulit dipajaki dan penegakan hukum pajak yang belum optimal, masih jadi kendala. Menurut Darussalam, kunci keberhasilan dari meningkatkan tax ratio terletak pada upaya memperoleh informasi sebagai alat untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak.

“Informasi yang diperoleh baik dari kerja sama automatic exchange of information maupun pihak ketiga harus segera dieksekusi. Sasaran utamanya berfokus terhadap wajib pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha yang kinerjanya masih lemah,” jelasnya.

Pembenahan sisi administrasi juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak kalah pentingnya untuk mencegah penggerusan dasar pajak. Selain itu, agenda reformasi perpajakan juga harus segera dirampungkan.

Direktur Data Indonesia, Herry Gunawan mengatakan, beban utang yang semakin besar menyebabkan kemampuan anggaran pemerintah kian lemah. “Pemerintah harus merancang ulang rencana belanja pemerintah pusat. Khususnya dari sisi penerbitan surat utang,” kata Herry.

Hal ini karena beban utang pemerintah pusat yang sejak 2014 rata-rata tumbuh sekitar 14 persen per tahun, menurut data Bank Indonesia. Hingga Agustus 2019, nilainya sudah mencapai Rp 4.680 triliun dan berpotensi terus bertambah.

Lajunya pertumbuhan utang tersebut tidak diikuti oleh penerimaan, yang justru realisasinya lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Realisasinya pada Agustus 2019 hanya 55 persen, turun dari tahun lalu yang sebesar 61 persen.

Sementara itu, Data Indonesia memperkirakan, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio hingga akhir 2019 akan berada di bawah 10 persen, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini memprihatinkan, karena sejak 2014 pada posisi 10,9 persen, kecenderungannya terus menurun.

Berbanding terbalik, rasio utang terhadap PDB malah meningkat. Pada 2014 berada di bawah 25 persen, sekarang sudah menyentuh angka 30 persen.

“Ini menunjukkan kinerja keuangan pemerintah memburuk, bahkan cenderung tidak hati-hati,” ujar Harry.

Sementara itu Kementerian Keuangan akan melakukan efisiensi belanja pemerintah pusat serta memberikan berbagai stimulus guna mendorong perekonomian dan menekan defisit anggaran.

“Stimulus bukan hanya bersifat belanja saja, memberikan insentif juga termasuk stimulus. Tax holiday dan tax allowance responnya menarik,” kata Direktur Jendral Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only