DKI Berharap pada Pergub BPHTB Baru

JAKARTA, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi mengundangkan regulasi agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) penjualan properti digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Hal ini demi mengatasi jebloknya realisasi BPHTB pada tahun ini yang baru 39,2%, yakni Rp3,7 triliun dari target Rp9,5 triliun dan dip royeksi tak akan terealisasi hingga akhir tahun.

Sebelumnya, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta Faisal Syafruddin menjelaskan bahwa dasar pengenaan BPHTB yang lama, yakni berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) memiliki kelemahan.

Terutama, terkait dengan penjualan apartemen di ibu kota yang kebanyakan hanya mengandalkan PPJB, kemudian dijual kembali sebelum lunas dan mendapat AJB.

Hal itulah yang melandasi Peraturan Gubernur No 117/2019 tentang BPHTB atas Perjanjian Pendahuluan Jual Beli yang resmi diundangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 29 Oktober 2019.

Oleh karena itu, BPRD telah menelaah putusan Mahkamah Agung, di mana PPJB dimungkinkan menjadi dasar pengenaan bea, “Mengantisipasi banyaknya PPJB yang dilakukan, sehingga diperlukan fasilitas kepastian hukum pemungutan BPHTB sebagai kredit pajak untuk mencegah penghindaran pajak,” ungkap Faisal kepada Bisnis, Rabu (6/11).

Nantinya, setiap orang atau badan yang melakukan PPJB dengan memasukan BPHTB sebagai komponen pada harga transaksi, wajib menyetorkan BPHTB kepada Pemprov DKI. Perolehan hak meliputi rumah umum milik dan rumah komersial milik yang berbentuk rumah tinggal, rumah deret dan rumah susun, baik rumah susun hunian atau bukan hunian.

Namun, BPHTB yang berdasarkan PPJB oleh penjual memiliki pe rsyarat- an. Pertama, objek PPJB telah selesai dibangun, BPHTB menjadi komponen harga transaksi, dan pembeli telah membayar lunas uang muka, atau telah selesai memenuhi pembayaran objek PPJB.

“BPHTB disetor oleh penjual sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya PPJB atau serah terima kunci dari penjual pada pembeli. Tarif, cara, perhitungan, dan sistem prosedur penyetoran berpedoman pada peraturan dan perundangan mengenai BPHTB ini,” tambahnya.

Nantinya, besaran BPHTB yang dibayarkan wajib pajak pemilik properti pun bisa ditarik kembali apabila pembeli ingin menjual asetnya kembali sebelum mendapat AJB, “Tapu restitusi atau kompensasi hanya dapat diproses selama PPJB belum meningkat menjadi AJB,” ungkap Faisal.

Mulai Sosialisasi Di tempat terpisah, Wali Kota Jakarta Timur Muhammad Anwar mulai melakukan sosialisasi Pergub No 117/2019 tentang penyetoran BPHTB atas PPJB di Blok A Kantor Wali Kota Jakarta Timur, Rabu (6/11).

Sosialisasi diikuti oleh 200 peserta. Berasal dari kalangan pengusaha apartemen, pengembang perumahan elit, notaris, ikatan pejabat pembuat akta tanah, lurah, camat, UPPRD 10 kecamatan dan BPN Jakarta Timur.

Anwar menjelaskan bahwa sosialisasi dilakukan untuk perolehan pajak BPHTB baik yang masih dalam bentuk perikatan maupun sudah berupa jual-beli mutlak.

Jakarta Timur berupaya membantu pencapaian target perolehan pajak BPHTB Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah Jakarta Timur tahun 2019.

“Kita ingin ada keterbukaan dan kolaborasi agar target itu tercapai. Karena saat ini masih banyak apartemen yang nakal. Mereka sewakan flat seperti hotel per harian tapi tidak bayar pajaknya, Bahkan ada yang sudah transaksi jual beli tapi belum bayar BPHTB-nya,” ungkap Anwar.

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan melakukan penagiahan pajak BPHTB secara paksa pada perusahaan yang enggan melaksanakan kewajibannya. Karena uang pajak ini digunakan untuk pembangunan di DKI Jakarta.

Wakil Ketua BPRD DKI Jakarta Yuandi Bayak Miko menjelaskan bahwa kondisi perekonomian yang membuat sektor properti lesu merupakan penyebab BPHTB DKI Jakarta diproyeksi tak mencapai target.

Seperti diketahui, BPHTB di DKI Jakarta bertumpu pada penjualan aset tanah atau bangunan yang memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) di atas Rp1 miliar. Lesunya penjualan properti inilah yang menurut Yuandi membuat realisasi BPHTB paling jeblok daripada jenis pajak lain, yakni Rp3,7 triliun dari target Rp9,5 triliun.

“Kita sampai saat ini masih di posisi masih 39%. Di daerah lain juga memang trennya sedang seperti itu,” ujar Yuandi, Selasa (5/11).

Diharapkan dengan adanya regulasi ini, target BPHTB sebesar Rp10,6 triliun mampu terealisasi. Yuandi pun masih optimis jenis-jenis pajak lain mampu memenuhi target.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only