Ditjen Pajak Jaga Shortfall di Bawah Rp 200 Triliun

JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) berupaya menahan shortfall penerimaan pajak tidak melebihi Rp 200 triliun hingga akhir tahun. Per semester pertama ini, DJP Kemenkeu mencatat, shortfall sudah mencapai Rp 140 triliun, melebihi realisasi shortfall sepanjang 2018, yakni Rp 108 triliun.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan DJP Kemenkeu Yon Arsal menyebutkan, shortfall penerimaan penerimaan pajak di tahun ini merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan mengingat terjadi perlambatan ekonomi global. Berbagai usaha tambahan (extra effort) yang sedang dan akan dilakukan DJP Kemenkeu diharapkan bisa membuat nilai shortfall di bawah Rp 200 triliun.

“Kami usahakan terus maksimal,” ucapnya ketika ditemui usai diskusi dengan media di Jakarta, Senin (25/11).

Berbagai upaya yang dimaksud adalah mencakup pengawasan, penegakan hukum dan sebagainya. Di antaranya dengan memanfaatkan data keuangan serta ekstensifikasi berbasiskan data yang kuat, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap dunia usaha.

Dari data yang disampaikan Yon, extra effort itu sudah berhasil menambah pundi-pundi pajak sebesar Rp 120 triliun sepanjang Januari sampai September 2019.

Potensi pelebaran shortfall terlihat berdasarkan laporan realisasi penerimaan pajak yang melambat dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan catatan Kemenkeu, pertumbuhan penerimaan perpajakan periode Januari sampai Oktober 2019, pertumbuhannya adalah 0,23 persen (year on year/yoy).

Sedangkan, pada periode yang sama di tahun lalu, pertumbuhannya dapat mencapai 16,21 persen.

Yon menyebutkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan penerimaan pajak relatif kecil. Pertama, restitusi yang mengalami peningkatan signifikan setelah dipercepat.

Akan tetapi, pertumbuhannya sudah cukup menurun, yakni dari 78 persen pada tahun lalu menjadi 65 persen pada tahun ini. “Menurun relatif signifikan,” tuturnya.

Faktor kedua, Yon menambahkan, faktor perlambatan ekonomi global yang melambat hingga berdampak pada perekonomian domestik. Dampaknya bisa terlihat pada aktivitas impor dan ekspor yang menurun.

Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) impor mengalami kontraksi pada Oktober 2019, dengan masing-masing tumbuh minus 12,62 persen dan minus 15,49 persen.

Kontraksi tersebut berdampak besar. Sebab, PPN dan PPh impor memberikan berkontribusi hingga 18 persen terhadap total penerimaan pajak. Yon berharap, kinerja impor menjelang akhir tahun dapat mengalami perbaikan , sehingga bisa mendorong penerimaan pajak.

Faktor ketiga, harga komoditas yang masih belum menunjukkan perbaikan signifikan. Meski saat ini sudah ada sedikit perbaikan pada harga sawit, Yon mengatakan, dampaknya baru bisa terlihat paling cepat pada akhir tahun.

“Transmisi ke penerimaannya baru terjadi pada Desember atau tahun depan,” ucapnya.

Di balik pelemahan, Yon menilai, masih ada peluang positif atau perbaikan pada November dan Desember. Peluang pertama terlihat dari jenis pajak PPh 21 yang masih stabil di atas 10 persen.

Setelah sempat mengalami kontraksi pada kuartal ketiga dengan pertumbuhan minus 0,82 persen, jenis pajak ini dapat tumbuh positif hingga 10,42 persen pada Oktober.

Dengan kondisi itu, Yon menyebutkan, masih ada harapan dari aktivitas perekonomian. Tercermin dari PPh 21 tersebut, pemerintah juga tidak melihat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara signifikan.

“Secara agregat, tidak terlihat adanya hal signifikan,” katanya.

Harapan berikutnya, Yon menambahkan, perbaikan sektor perdagangan pada Oktober. Tercatat, pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor ini tumbuh 2,5 persen.

Ditambah lagi, sektor jasa pengangkutan dan transportasi masih menunjukkan perbaikan signifikan dengan pertumbuhan hingga 17,9 persen per Oktober 2019.

Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan pihaknya tetap menjaga keseimbangan di tengah perlambatan ekonomi global. Artinya, DJP Kemenkeu tetap akan mengumpulkan pajak dengan tidak mengganggu dinamika bisnis secara berlebihan. “Kita berusaha adil,” tuturnya.

Suryo mengatakan, pihaknya menggunakan instrumen yang ada untuk meningkatkan perekonomian. Satu di antaranya, percepatan restitusi yang dinilai sebagai sebuah insentif kepada Wajib Pajak (WP) yang memang layak untuk dapat pengembalian pajak tanpa dilakukan pemeriksaan.

Dalam optimalisasi penerimaan negara, Suryo menyebutkan, ada dua pilar yang dilakukan. Pertama, meningkatkan kepatuhan secara sukarela dengan memberikan kemudahan dalam pelayanan pelaporan dan pembayaran pajak.

Kedua, melakukan pengawasan perpajakan dengan konteks keadilan.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only