Pajak E-commerce Menunggu Omnibus Law

Dirjen Pajak tengah kaji penerapan pajak e-commerce sambil menunggu omnibus law

Jakarta, Sepertinya pemerintah harus menelan ludah sendiri. Penerapan pajak e-commerce yang seharusnya sudah terjadi pada tahun ini, tiba-tiba batal di tengah jalan akibat tekanan dari pebisnis online. Padahal, laju transaksi bisnis digital ini dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat besar.

Ini terlihat dari data dari Bank Indonesia. Sejak tahun 2017 sampai 2019, pertumbuhan transaksi e-commerce di dalam negeri dalam setahun tumbuh lebih dari 50%. Malah diproyeksi, total transaksi e-commerce di akhir tahun ini bisa tembus lebih dari Rp 215 triliun. Dan sekitar 80% nya berasal dari empat market place terbesar negeri ini. Beberapa di antaranya adalah Tokopedia serta Bukalapak.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengakui ada potensi pajak yang menganga lebar di pasar e-commerce dalam negeri, dengan pertumbuhan yang fantastis. “Transaksinya memang naik luar biasa,” kata Suryo Utomo saat wawancara khusus pekan lalu.

Meskipun, demikian begitu, pihaknya masih menunggu waktu yang tepat untuk bisa menerapkan perpajakan di bisnis e-commerce. Yang pasti, pihaknya saat ini tengah menunggu perampingan pajak yang dilakukan oleh pemerintah yakni omnibus law yang bisa menjadi pijakan dalam menerapkan pajak e-commerce. “Harapannya bisa seperti skema over the top (OTP) lain yang melakukan pemungutan PPN,” terang Suryo.

Sejatinya, skema pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak marketplace atau over the top sudah dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Nah, selama dua bulan terakhir ini, Dirjen Pajak rupanya sudah melakukan ujicoba. Yaitu, beberapa marketplace dan perusahaan digital seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Finnet Indonesia sebagai platform pembayar pajak. “Dari hasil realisasi selama dua bulan, yang paling banyak membayar pajak adalah UMKM,” tuturnya,

Selain memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pungutan pajak e-commerce bisa lebih luas. “Ke depan bakal narik PPh,” katanya.

Perlu terobosan

Darussalam, pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) menawarkan strategi bagi pemerintah jika nantinya menarik pajak e-commerce. Menurutnya, pemerintah sejatinya cuma perlu mengharuskan para pelaku usaha di ranah ekonomi digital ini patuh terhadap kewajiban membayar pajak.

Caranya adalah dengan membuat terobosan administrasi pajak. “Misalnya adanya kewajiban memberikan data transaksi secara detail bagi otoritas,” katanya kepada KONTAN, Selasa (3/12).

Hal lain yang bisa menjadi perhatian Dirjen Pajak adalah melihat identitas dari perusahaan e-commerce yang beroperasi di Indonesia. Sebab ada yang berasal dari dalam negeri serta dari luar negeri.

Khusus marketplace dari luar negeri, ada baiknya pemerintah mewajibkan si perusahaan yang bersangkutan terdaftar sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Tujuannya adalah supaya si perusahaan yang bersangkutan saat memungut PPN bisa sebagai pemungut dan penyetor.

Sedangkan untuk pajak penghasilan (PPh) bagi platform asing ini, pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan yang bersifat khusus. Saat ini negara lain tengah melakukan pembahasan sama memajaki platform global.

Ia harap, pembahasan tersebut sudah bisa diputuskan dan diimplementasikan tahun depan. “Proposal ini berpihak bagi negara pasar seperti Indonesia,” ujar Darussalam.

Jangan lupa, pemerintah juga harus mulai membuat kebijakan yang berbeda jikalau konsensus global tersebut tak tercapai.

Sumber : Harian Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only