Langkah Salah Pemerintah Bikin Kantong Negara ‘Berdarah’

Jakarta – Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih menjadi tantangan pemerintah dalam mendongkrak perekonomian negeri. Terbukti, pada realisasi APBN 2019 sementara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit anggaran mencapai Rp353 triliun.

Secara persentase, realisasi defisit APBN 2019 mencapai 2,29 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Realisasi tersebut masih di bawah batas aman Undang-undang Keuangan Negara, 3 persen dari PDB. Namun, angka tersebut membengkak dibandingkan realisasi defisit APBN 2018 yang besar Rp269,4 triliun atau 1,82 persen dari PDB.

Tak hanya itu, realisasi defisit tersebut terpaut 0,45 persen dari target defisit yang telah dipasang dengan nilai Rp296 triliun atau sebesar 1,84 persen terhadap PDB.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai defisit kian melebar lantaran realisasi pendapatan negara tak mampu mengimbangi belanja negara.

Diketahui, pendapatan negara terealisasi Rp1.957 triliun atau hanya 90,4 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp2.165,1 triliun. Secara tahunan, realisasi tersebut cuma tumbuh sekitar 1 persen.

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi menilai wajar defisit bengkak. Sebab, lanjut dia, pemerintah sendiri sudah salah langkah dalam menyusun perencanaan anggaran.

Menurut Uchok, pemerintah terlalu mengandalkan utang sebagai solusi untuk menalangi belanja di tengah pendapatan yang tak mencapai target. Sementara, besarnya utang tak sebanding dengan pendapatan yang berhasil diperoleh.

“Kalau dulu jamannya Suharto, utang itu dalam menu makanan seperti menu pelengkap. Tapi saat ini, utang itu sebagai menu utama. Jadi tanpa utang, APBN pun tidak terealisasi, karena target-target pendapatan itu tidak mencapai target yang telah ditetapkan,” ungkapnya.

Tak hanya utang, ia juga merasa belanja APBN tidak efisien karena alokasi pembayaran bunga utang kian meningkat.

“Bunga utang ini juga memberatkan. Jadi APBN 2019 ini, sangat berat, karena banyaknya alokasi utang, dan terlihat justru pro utang tapi tidak pro masyarakat,” ungkapnya.

Sebagai catatan, Kemenkeu melaporkan total utang pemerintah sepanjang tahun lalu tembus Rp4.778 triliun. Angka tersebut naik 8,14 persen atau Rp360 miliar dibandingkan dengan posisi 2018 lalu yang sebesar Rp4.418 triliun.

Di saat yang sama, pemerintah telah melakukan pembayaran bunga utang sebesar Rp275,5 triliun sepanjang 2019. Secara nominal, realisasi tersebut semakin meningkat dalam empat tahun terakhir, dengan pembayaran bunga utang pada 2015 sebesar Rp156 triliun, 2016 sebesar Rp182 triliun, 2017 sebesar Rp216 triliun, dan 2018 sebesar Rp256 triliun.

“Di sisi lain, realisasi dari segi pendapatan, misalkan pajak, itu kan tidak mencapai target, sehingga realisasinya banyak mengganggu (APBN). Tapi pemerintah, supaya realisasi ini tidak mengganggu, maka mereka banyak melakukan utang,” tuturnya.

Kemenkeu mencatat data sementara realisasi penerimaan pajak sepanjang 2019 hanya Rp1.332,1 triliun. Realisasi tersebut cuma 84,4 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar Rp1.577,6 triliun.

Untuk itu, ia menilai pemerintah perlu fokus mencari sumber pendapatan lain ketimbang bergantung kepada utang. Terlebih, perekonomian dunia semakin tak menentu ke depan.

Tak hanya itu, pemerintah juga perlu lebih mengoptimalkan pendapatan dan semakin berhati-hati dalam mengalokasikan anggaran.

“Misalkan digarap yang berpotensi menjadi pundi-pundi pendapatan, maksimalkan pajak. Ini kan belum digarap nih, soal pendapatan di dalam e-commerce, itu belum dioptimalkan. Pajak-pajak e-commerce itu lebih digali lagi, karena kan banyak transaksi disitu,” tukasnya.

Upaya lainnya, Uchok menyarankan agar pemerintah dapat lebih teliti dan akurat dalam melakukan alokasi belanja anggaran, dan juga dalam pengawasan penyerapan, serta memikirkan dampak yang dapat diberikan anggaran tersebut kepada pertumbuhan perekonomian lebih lanjut.

“Kalau sekarang, kan angka itu banyak yang tidak akurat atau tidak jelas, contohnya termasuk transfer DAU (Dana Alokasi Umum). DAU itu banyak yang tidak jelas mengenai penempatannya, sangat janggal,” jelasnya.

Target Tak Realistis

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai target defisit yang dipasang pemerintah sendiri memang terlalu kecil dan tidak realistis.

Pasalnya, dengan melihat kondisi perekonomian yang kini sedang tertekan, maka peningkatan tingkat pendapatan akan semakin sulit, terutama pada pendapatan pajak dibandingkan dengan kondisi normal.

“Dengan tekanan global, penerimaan dari sisi pajak terutama, pasti tidak optimal, kemudian juga dari sisi PNBP juga turun karena kebetulan harga minyak juga kan lagi turun. Sementara dari sisi lain belanja masih tetap ekspansi dibandingkan 2018, ada target-target infrastruktur,” kata Faisal.

Penurunan pajak tersebut, lanjut faisal, tidak lepas dari kondisi sektor-sektor yang menjadi penyumbang terbesar bagi pajak, seperti industri manufaktur yang kian melesu.

Penerimaan pajak pada sektor industri pengolahan pada 2019 sendiri mencapai Rp365,39 triliun, turun 1,8 persen dibanding 2018. Penurunan ini disebabkan oleh restitusi atau pengembalian pajak yang naik 18,05 persen, dan Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor yang turun 9,2 persen.

“Terutama industri manufaktur. Manufaktur sedang mengalami kelemahan, sehingga pendapatannya itu juga makin lama makin kecil, sehingga pembayaran pajaknya juga otomatis juga makin kecil,” ungkapnya.

Kendati demikian, Faisal merasa pemerintah masih mendapatkan ruang untuk bermanuver untuk melakukan beberapa upaya ke depan, lantaran persentase defisit masih dibawah angka 3 persen dari PDB.

“Ruang manuvernya masih ada, karena nilainya (defisit) masih dibawah 3 persen. Jadi, masih relatif aman,” tuturnya.

Faisal pun berpendapat pemerintah harus semakin rajin dalam memberikan stimulus (insentif) untuk merangsang pergerakan ekonomi ke depan, baik dari sisi konsumsi maupun dari sisi produksi.

“Sehingga stimulus ini berdampak pada anggaran yaitu karena belanjanya harus tetap ekspansif, sementara di sisi lain, penerimaannya kan sedang turun,” jelasnya.

Faisal sendiri menilai bahwa pembelanjaan pemerintah atas infrastruktur sudah dalam posisi yang tepat. Namun, ia merasa pemerintah harus lebih menyeleksi dan memprioritaskan pembelanjaan anggaran yang memiliki dampak lebih besar kepada perekonomian.

“Jadi jangan terlalu ambisius ingin melakukan begitu banyak proyek, kemudian dari sisi kemanfaatan, dari sisi dampak ekonominya itu dibiarkan. Masih ada sebetulnya proyek-proyek yang tidak harus dijalankan sekarang, atau prioritasnya rendah, seharusnya tidak diutamakan,” pungkasnya.

Sumber : CnnIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only