Pengamat: Target Pajak Tak Pernah Tercapai dalam 10 Tahun Terakhir

Pemerintah disebut tak mampu mencapai target penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir. Tahun lalu, kekurangan penerimaan pajak dari target APBN mencapai Rp 245, 5 triliun.

“Dalam 10 tahun terakhir pemerintah belum berhasil mencapai target pajak yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah atau APBN,” ujar Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo dalam keterangan resminya, Jakarta, Rabu (8/1).

Berdasarkan data realisasi sementara APBN 2019, realisasi penerimaan pajak pada 2019 tercatat mencapai Rp 1.332,1 triliun atau 84,4% dari target APBN sebesar Rp 1.577,6 triliun.

Secara persentase, menurut Yustinus, realisasi tersebut lebih rendah dibandingkan 2017 dan 2018 yang masing-masing mencapai 89,7% dan 92,4% dari target APBN. Namun, realisasi tahun lalu masih lebih tinggi dibandingkan capaian 2015 dan 2016 yang masing-masing sebesar 82% dan 81,6% dari target APBN.

“Volatilitas pencapaian target penerimaan iniperlu diantisipasi dan dianalisis secara mendalam, terutama demi mendapatkan formula pemungutan pajak yang efektif dan berlanjut,” ujar Yustinus.

Menurut Yustinus terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab tak tercapainya target penerimaan pajak. Pertama, harga komoditas yang menurun. Hal ini menyebabkan kinerja penerimaan pajak di sektor perkebunan, migas, dan pertambangan terkontraksi.

Kedua, perdagangan internasional yang turun. Ini berdampak pada realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN impor yang hanya mencapai 81,3%. Ketiga, pemerintah banyak menggelontorkan insentif pajak, seperti tax holiday, tax allowance, kenaikan threshold hunian mewah, dan upaya mempercepat restitusi pajak.

Keempat, pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal. Kelima, tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor, seperti e-commerce.

Adapun dalam APBN 2020, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dapat mencapai Rp 1.680 triliun. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan kenaikan penerimaan pajak mencapai 23,3% dari realisasi 2019.

“Tentunya ini sulit untuk direalisasikan, apalagi ekonomi tahun ini masih dipenuhi ketidakpastian,” jelas dia.

Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu memantapkan strategi dalam menggenjot penerimaan pajak. Salah satunya dapat dilakukan dengan menginisiasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan atau NIK sebagai penanda tunggal seluruh transaksi dan aktivitas warga negara.

“Dalam jangka pendek, NIK harus digunakan sebagai identitas wajib dalam faktur pajak pada setiap transaksi yang melibatkan orang pribadi,” ujarnya.

Pemerintah sebelumnya menunda aturan kewajiban pencantuman NIK dalam faktur pajak bagi pembeli orang pribadi yang tidak memiliki NPWP yang seharusnya berlaku 1 April 2018. Hingga kini, kebijakan tersebut pun tak kunjung berlaku.

Padahal, menurut Yustinus, pencantuman NIK pada faktur pajak bisa mendeteksi pembeli yang sebenarnya sehingga tak ada lagi faktur gelondongan.

Adapun strategi lainnya yang dapat dilakukan Ditjen Pajak yakni memperluas basis pajak. Hal ini dapat dilakukan dengan menindaklanjuti data perpajakan usai amnesti pajak dan hasil akses atau pertukaran informasi dalam rangka penegakan hukum dan sinergi kelembagaan.

Selain itu, administrasi perpajakan juga perlu diperbaiki. Ditjen Pajak juga harus memeriksa pajak dan menegakan hukum yang terukur dan profesional untuk menciptakan efek kejut dan efek bola salju kepatuhan pajak.

“Pemerintah juga diharapkan melakukan evaluasi menyeluruh dan reorientasi skema fasilitas perpajakan yang selama ini telah digelontorkan.” jelas dia.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only