Pembayaran PPN Bakal Terpangkas

JAKARTA, Relaksasi pajak masukan yang diusulkan oleh pemerintah dalam omnibus law RUU Perpajakan berisiko menekan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar. Dalam omnibus law, pemerintah mengusulkan agar pengusaha dapat atau berhak untuk mengkreditkan pajak masukan atas perolehan barang dan jasa yang terjadi sebelum pengusaha tersebut menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Dalam ketentuan yang saat ini berlaku, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sama sekali tidak memberikan hak untuk mengkreditkan pajak masukan atas perolehan barang dan jasa sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa kebijakan ini lebih adil karena PPN yang terutang idealnya adalah sebesar nilai tambah dari proses produksi, bukan atas nilai output tanpa memerhitungkan input.

Adapun, batasan pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP sebelum pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai PKP dibatasi sebesar 80% dari pajak keluaran yang harus dipungut.

“Dalam konteks pengusaha berhak mengkreditkan pajak masukan sebelum dia dikukuhkan sebagai PKP, sebesar maksimal 80% dari pajak keluaran, maka sebenarnya kita tidak melihat lagi apakah perolehan barang dan jasanya dari pihak PKP atau non-PKP,” ujar Yoga, Kamis (16/1).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan kebijakan ini memang terkesan lebih adil, tetapi otoritas perlu menyiapkan mitigasi risiko.

Pasalnya, setoran PPN bagaimana pun akan turun akibat makin bertambahnya pengurang dari pajak keluaran.

“Relaksasi ini akan mengurangi PPN dibayar itu memang, karena ada pengakuan terhadap pajak masukan,” ujar Yustinus.

Ekonom senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati pun mengatakan bahwa serangkaian relaksasi yang dikeluarkan oleh pemerintah perlu diimbangi dengan perluasan basis pajak agar penerimaan tidak tertekan akibat insentif yang terus digelontorkan.

“Kalau di satu sisi ada penurunan penerimaan tapi di sisi lain tidak ada akselerasi perekonomian, akan terjadi gap antara potensi dengan realisasi penerimaan negara,” ujar Enny.

FLUKTUATIF

Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir, kinerja penerimaan PPN masih cenderung fluktiatif, baik dari sisi realisasi penerimaan maupun indikatornya.

Dari sisi realisasi, laju pertumbuhan penerimaan PPN cenderung tertekan akibat restitusi. Restitusi atas PPN dalam negeri saja tercatat mencapai Rp102,14 triliun pada tahun lalu.

Angka tersebut tumbuh sebesar 25,22% dibandingkan dengan realisasi pada 2018 yang mencapai Rp81,56 triliun.

Apabila dilihat dari value added taxes (VAT) ratio, peneriman PPN masih berada di angka 3% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini terbilang sangat rendah, mengingat banyak negara yang memiliki VAT ratio hingga 6%.

Di sisi lain, Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-95/PJ/2015 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015-2019 sesungguhnya juga telah mengamanatkan adanya revisi atas UU PPN untuk memaksimalkan penerimaan PPN.

Namun, Kementerian Keuangan dan DPR lebih memilih untuk memasukkan omnibus law dan revisi atas UU Bea Materai dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only