Tidak Semua Sektor Bisa Menikmati

JAKARTA. Aturan Tax holiday atau pembebasan pajak untuk kurun waktu tertentu, ternyata tidak mengungah selera semua pelaku industri. Pasalnya, sejumlah syarat dalam beleid itu hanya terasa cocok untuk industri tertentu.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 35/2018, pemerintah memberikan pembebasan pajak kepada wajib pajak badan yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir. Sementara besaran investasinya minimal Rp 500 miliar hingga lebih dari Rp 30 triliun.

Semakin besar investasi, semakin lama pula durasi perolehan pembebasan pajak yang didapatkan. Untuk investasi sebesar Rp 500 miliar – Rp 1 triliun contohnya, berhak atas pembebasan pajak 100% selama lima tahun awal pabrik beroperasi.

Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, aturan pembebasan pajak menarik minat investasi industri kimia di dalam negeri. Terutama, sektor petrokimia. Modal investasi sektor itu memang terbilang besar sehingga memenuhi persyaratan.

Sementara perkembangan sektor petrokimia berpotensi memberikan efek gulir ke sektor hilir. “Pemberian tax holiday dapat sedikit meningkatkan keekonomian proyek di sektor kimia,” tutur Muhammad Khayam, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemperin, kepada KONTAN, Rabu (22/1).

Namun, Kemperin, melihat tax holiday kurang diminati industri lain seperti farmasi. Investasi bahan baku farmasi berkisar antara Rp 200 miliar-RP 300 miliar. Alhasil, besaran investasinya tidak memenuhi syarat minimal untuk mendapatkan pembebasan pajak.

Sementara jangka waktu pembebasan pajak tercepat yakni lima tahun, juga kurang menarik bagi pelaku industri farmasi. Dalam kurun waktu tersebut, mereka belum mendapatkan keuntungan. Makanya Kemperin maklum jika perusahaan bahan farmasi seperti PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia KFSP lebih tertarik dengan fasilitas lain berupa tax allowance atau pengurangan pajak.

KFSP yang berdiri tahun 2016 merupakan produsen bahan baku farmasi pertama di Indonesia. Perusahaan itu adalah hasil kongsi antara PT kimia farma Tbk dengan PT Sungwun Pharmacopia Indonesia sebagai perwakilan dari Sungwun Pharmacopia Co Ltd dari Korea Selatan.

Regulasi harus sunkron

Meski begitu, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) berharap pemerintah menyelaraskan sejumlah aturan dengan ketentuan tax holiday yang banyak dimanfaatkan oleh pelaku industri hulu kimia, utamanya aturan di hilirnya. Seperti diketahui, sektor petrokimia menghasilkan aneka bahan baku untuk kebutuhan industri hilir berupa plastik dan kemasan.

Inaplas mencontohkan, aturan larangan penggunaan plastik sekali pakai atau sungle use plastics yang diterapkan oleh sejumlah pemerintah daerah seperti Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, dan Denpasar. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan menerapkan aturan itu mulai Juli 2020. Dengan kata lain, pemerintah gentol menarik investasi sisi hulu, namun regulasi sektor hilirnya tak sejalan dengan upaya menggenjot investasi sektor hulu.

Belum lagi implementasi Indonesia National Single Window (INSW) yang belum berjalan efektif. INSW merupakan sistem nasional Indonesia yang memungkinkan penyampaian data serta informasi secara tunggal dan sinkron. Alhasil, laju investasi lambat kendati potensi industri kimia dan dasar menjanjikan.

Oleh karena itu, pertumbuhan industri petrokimia sedikit meleset dari proyeksi awal Inaplas. Semula, mereka memperkirakan industri petrokimia bisa tumbuh 5,1% di tahun 2019. Tapi realisasinya hanya tumbuh 5%.

Sumber: harian kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only