Sri Mulyani: Kerja Sama RI-Singapura Cegah Kebocoran Pajak

Jakarta, – Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura sepakat untuk menurunkan pajak royalti dan pajak atas laba bagi perusahaan Singapura yang berbasis di berbagai wilayah Indonesia.

Hal tersebut seiring dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama strategis di bidang perpajakan yakni penghindaran pajak berganda (double taxation avoidance) antara kedua negara di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Dengan perjanjian ini, kedua negara sepakat menurunkan tarif pajak royalti perusahaan menjadi dua lapis yaitu 10% dan 8%. Tak hanya itu, kedua negara pun menurunkan pajak atas laba dari 15% menjadi 10%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kerjasama ini bertujuan untuk menghilangkan kebocoran pajak yang selama ini terjadi dan melemahkan posisi Indonesia untuk mendapatkan hak pajaknya.

“Jadi P3B ini kita harapkan akan memberikan keuntungan kepada Indonesia dalam bentuk investasi yang makin besar dari Singapura ke Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (4/2/2020).

“Dan menutup loop hole dari penghindaran pajak yang selama ini terjadi,” tegasnya.

Kebocoran pajak terjadi karena penghindaran pembayaran pajak oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di banyak negara karena pajak ganda yang terjadi selama ini.

Sri Mulyani memastikan posisi Singapura kini sama seperti negara-negara lain yang meneken perjanjian serupa dengan Indonesia. Tercatat sampai saat ini, Indonesia telah meneken perjanjian tax treaty dengan 47 negara.

“Sama dengan investor negara lain. Karena selama ini mereka untuk perjanjian penghindaran pajak berganda kan Singapura diatur sendiri melalui P3B kita yang dari 1992,” jelasnya.

Meski begitu, ketentuan ini belum langsung berlaku. Kedua negara, kata eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu masih harus melakukan ratifikasi terhadap perjanjian tersebut agar bisa dilaksanakan.

“Nanti saya cek lagi. Kalau sesudah P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) di-sign tadi, berarti Indonesia harus menurunkan dalam bentuk peraturan kita. Biasanya dalam betuk PP (Peraturan Pemerintah),” jelasnya.

Sri Mulyani pun mengaku belum mengetahui berapa lama proses ratifikasi tersebut bisa rampung. Pasalnya, proses ratifikasi perjanjian ini harus terlebih dahulu dikonsultasikan kepada parlemen masing-masing negara.

“PP-nya pasti sudah disiapkan, karena ini cukup lama. Namun apakah PP harus dikonsultasikan dengan DPR atau enggak kita lihat. Karena ratifikasi kan ada yang melalui DPR, ada yang nggak,” kata Sri Mulyani.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only