Bila PPh badan turun 20%, potensi kehilangan penerimaan mencapai Rp 87 triliun

JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membuka opsi penurunan pajak penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20% pada 2021. Meski demikian, insentif perpajakan ini membuat pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan alias potential lost PPh Badan hingga Rp 87,44 triliun pada tahun yang sama.

Berdasarkan naskah akademik RUU omnibus law perpajakan yang diterima Kontan.co.id, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu mempunyai dua skenario dalam menurunkan PPh Badan. 

Skenario pertama yaitu tarif PPh badan diturunkan secara bertahap dari 25% menjadi 22% di tahun 2021 dan 2022, dan selanjutnya menjadi 20% di tahun 2023. 

Skenario kedua yaitu tarif PPh badan diturunkan secara langsung dari 25% menjadi 20% di tahun 2021. 

“Berdasarkan skenario kedua pada penurunan tarif PPh badan secara langsung berdampak pada turunnya penerimaan pajak neto sebesar Rp87 triliun pada tahun 2021. Akibatnya, belanja pemerintah juga turun, dan berdampak pada turunnya produk domestik bruto (PDB) dalam jangka pendek,” tulis naskah akademik RUU omnibus law perpajakan. 

Kemenkeu memproyeksikan pada 2021, tax ratio turun 0,54%. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) koreksi Rp 407 triliun, pertumbuhan ekonomi melorot 0,15%, penyerapan tenaga kerja turun 0,6%, konsumsi pemerintah terkoreksi 6,31%, serta menyumbang inflasi 0,1%.  

Sementara itu, pemerintah meyakini perekonomian tumbuh dalam jangka panjang karena didorong peningkatan investasi, penyerapan tenaga kerja, dan konsumsi rumah tangga. 

“Pada tahun 2030, kebijakan berdampak secara kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 1,2%. Saat perekonomian mulai tumbuh, penerimaan pajak lain juga mulai tumbuh, yaitu PPh orang pribadi, PPN, cukai, dan pajak lainnya,” sebagaimana dikutip dalam naskah akademik RUU omnibus law perpajakan. 

Dalam hal ini, Kemenkeu menegaskan berkenaan dengan perlakuan pajak  terhadap Wajib Pajak (WP) badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka, akan diberikan kekhususan sehingga lebih mendorong badan untuk menjadi perseroan terbuka dan menjual sahamnya kepada publik. 

Kemenkeu menyebutkan perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh publik cenderung menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan/atau laporan keuangan lebih patuh, baik secara formal maupun material. Hal ini didukung dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa perusahaan yang telah masuk bursa diwajibkan menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. 

Kekhususan dimaksud adalah penerapan tarif PPh badan yang lebih rendah daripada tarif PPh badan normal. Namun demikian, perlu dipertimbangkan besaran penurunan yang dapat diberikan agar selain dapat bersaing dengan tarif efektif PPh badan negara-negara lain sekawasan, juga tetap menjamin terjaganya penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran negara. 

Nantinya Kemenkeu mengatur persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk memperoleh tarif yang lebih rendah tersebut, juga diharapkan akan didelegasikan ke peraturan di bawah undang-undang. Dalam hal ini Peraturan Pemerintah (PP), untuk memberikan ruang fleksibilitas bagi pemerintah agar ketentuan ini dapat menjadi instrumen untuk mendorong tujuan ekonomi tertentu. 

Persyaratan dapat tetap mengakomodasi ketentuan yang saat ini telah ada, atau dengan melakukan beberapa penyesuaian atau bahkan perubahan, sepanjang mendorong tujuan peningkatan investasi sebagaimana menjadi tujuan dibentuknya rancangan undang-undang ini, melalui peningkatan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka serta kepemilikan publik pada perseroan terbuka. 

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only