Investasi Industri Bahan Baku Farmasi Sepi Peminat

Jakarta, Pemerintah tengah mengejar investasi industri bahan baku dalam negeri untuk menekan ketergantungan impor bahan baku farmasi yang mencapai 90 persen. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Muhammad Khayam mengatakan untuk menggenjot investasi di sektor bahan baku farmasi, pemerintah menawarkan insentif pajak seperti, tax holiday, tax allowance, dan superdeductible tax.

“Investasi yang sangat besar di sektor bahan baku farmasi yang mungkin menyebabkan tidak begitu banyak investasi di sektor ini,” ujar Khayam kepada Tempo, Ahad 9 Februari 2020.  

Menurut Khayam, industri farmasi tanah air merupakan salah satu sektor prioritas yang terus mendapat perhatian dari Pemerintah. Bahan baku aromatik dari nafta untuk kepentingan farmasi akan didorong berproduksi di Indonesia baik kuantitas maupun harga sehingga lebih kompetitif. 

Saat ini, kata dia, pertumbuhan industri farmasi nasional mampu mencapai sebesar 9,47 persen pada kuartal ketiga di tahun lalu. Khayam mengatakan pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal ketiga 2018 yang mencapai 5,13 persen. Adapun kinerja ekspor industri farmasi pada triwulan ketiga 2019 sebesar US$ 437 ribu.  

“Pada akhir 2019, kami optimistis kinerja ekspor akan mencapai US$ 600 juta atau lebih tinggi dibandingkan ekspor pada 2018 sebesar US$ 580 juta,” tutur Khayam. 

Khayam berharap pembentukan usaha induk sektor farmasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa mendorong lebih banyak riset bahan baku farmasi, sehingga dapat mewujudkan kemandirian industri farmasi. Selain itu Kemenperin mendorong Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) atau fitofarmaka yang berasal dari tumbuh tumbuhan dan hewan sebagai bahan baku obat dan obat modern.

Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo mengatakan pertumbuhan industri tahun ini bisa sebesar 5 hingga 7 persen. Adapun pertumbuhan Kimia Farma, Verdi mengatakan perusahaan mematok target sebesar 25 persen, meski pada tahun lalu pertumbuhannya bisa menembus 26 persen. “Lokomotifnya kami masih dari sektor ritel, Kimia Farma apotek,” tutur Verdi.

Untuk bahan baku, Verdi mengatakan telah mencoba penjajakan sejak 2015. Setidaknya ada tiga calon investor yang mulai melirik investasi atau pun kerja sama pengembangan industri bahan baku, yaitu asal Cina, India, dan perguruan tinggi dalam negeri. Namun, kata Verdi, investasi tersebut belum terealisasi masih butuh studi kelayakan atau feasibility study.

“Karena tantangannya lumayan besar, misalnya economic of scale, investasi yang high cost, kompetensi dan teknologi yang saat ini belum dimiliki. Makanya maunya kami mau gandeng pihak luar supaya ada transfer teknologi,” ujar Verdi. 

Verdi berharap berbagai insentif yang ditawarkan pemerintah mampu mendongkrak penelitian dan pengembangan industri bahan baku dalam negeri. “Kalau itu bisa terjadi, industri kami akan berkembang lebih baik. 50 persen bahan baku impor itu produk herbal. Dengan luasan tanah Indonesia, seharusnya Indonesia bisa (produksi),” ujar Verdi. 

Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto mengatakan berencana memaksimalkan kapasitas produksi obat herbal. Meski Indofarma sudah memiliki pabrik obat herbal sejak 2003, kapasitasnya masih belum optimal karena tingkat utilisasinya masih 30 persen. Menurut dia, pasar obat tradisonal nantinya akan ditingkatkan apalagi Indonesia memiliki keanekaragaman hayati melimpah yang bisa dijadikan bahan baku. 

“Kami berharap bahan baku obat tradisional ini bisa menjadi salah satu alternatif pengobatan masyarakat seperti pasar obat Cina,” kata Arief.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi mengatakan industri masih menanti aturan mengenai tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurut dia, aturan tersebut  bisa mendorong pengembangan industri hulu farmasi di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan bahan baku impor. 

“Kalau (beleid) ini tidak dikeluarkan, kasihan investor dalam negeri. Kalau tidak ada kebijakan penggunaan hasil produksi dalam negeri, bagaimana orang mau ambil risiko investasi?” tutur Dorodjatun. 

Selain persoalan bahan baku, Dorodjatun menggarisbawahi persoalan tunggakan pembayaran utang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada distributor farmasi atau Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang terus membengkak. Tunggakan ini, ujar Dorodjatun, telah menekan arus kas (cash flow) perusahaan farmasi. Menurut dia,  tunggakan pemerintah telah mencapai Rp 6 triliun. Sayangnya, kata Dorodjatun, dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) hanya 6 persen yang masuk untuk pembayaran obat.  

“Kami harapkan ada perhatian pemerintah untuk ambil kebijakan bahwa setiap aliran dana dari pemerintah setidaknya 20 persen dialokasikan untuk pembayaran obat,” kata dia. 

Sumber: tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only