Berjuang Menambal Lubang Penerimaan

Pemerintah harus menanggung konsekuensi yang berat sejalan dengan banyaknya insentif yang diberikan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau Omnibus Law

Pasalnya, insentif itu akan menggerus penerimaan negara, yang hingga kini masih dibayangi shortfall. Pemangkasan PPh Badan, misalnya, menggerus penerimaan pajak secara neto Rp53 triliun.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan penerimaan pajak yang hilang akibat dari relaksasi tersebut mencapai Rp80 triliun. Otoritas pajak dituntut menambal lubang penerimaan dari sumber lain.

Satu-satunya cara yang bisa diambil adalah memperluas basis pajak melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. “Kami mengubah cara kerja yakni ekstensifikasi berbasis kewilayahan,” ujar Suryo, Selasa (11/2).

Dia mengatakan pengawasan yang dilakukan tidak serta merta berujung pada pemeriksaan dan penegakan hukum. Imbauan melalui penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) diutamakan.

Hal ini berjalan beriringan dengan Omnibus Law Perpajakan yang akan mengenakan sanksi administrasi bagi wajib pajak (WP) yang melaksanakan pembetulan SPT tanpa menunggu pemeriksaan.

Selama ini, kemampuan ekstensifi kasi terbatas karena tugas diserahkan kepada empat account representative (AR) di setiap KPP Pratama. Dengan penambahan jumlah KPP Madya dan perubahan KPP Pratama yang digerakkan secara kewilayahan, AR memiliki tugas melaksanakan ekstensifikasi dan intensifikasi.

Ke depan, AR didorong melakukan kegiatan pengumpulan data lapangan (KPDL) dan mengawasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah.

Wakil Ketua Tetap Bidang Perpajakan Kadin Herman Juwono meyakini otoritas pajak bisa menutup lubang penerimaan itu. Menurutnya, dengan meningkatnya jumlah KPP Madya dari 20 menjadi 38, secara otomatis pengawasan atas WP bakal meningkat.

“Dengan mengubah KPP Pratama menjadi KPP Madya maka Ditjen Pajak akan lebih fokus mencari data yang sesuai dengan sebenarnya,” kata Herman.

Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Irawan menambahkan pemeriksaan dan penagihan atas WP akan makin baik dengan adanya Compliance Risk Management (CRM).

Melalui CRM, masing-masing WP dipetakan berdasarkan tingkat kontribusi WP terhadap penerimaan berdasarkan omzet, PPh terutang, potensi, piutang pajak, serta tingkat ketidakpatuhan WP.

Meski demikian, Herman mengatakan saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak sesuai dengan APBN.

Hal ini tidak terlepas dari regulasi yang mewajibkan pemerintah bersama parlemen untuk menyepakati APBN tahun selanjutnya pada Oktober. Untuk itu, target pajak yang ditentukan dalam APBN tidak akan sesuai dengan realitas karena target pajak tahun berikutnya ditentukan sebelum APBN tahun berjalan berakhir.

Dengan demikian, otoritas pajak pun memiliki pekerjaan rumah untuk meningkatkan tax ratio agar setidaknya shortfall pajak bisa diminimalisasi.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only