Disayangkan, Omnibus Law Tak Sentuh Penyederhanaan Pajak

JAKARTA – Kalangan pengusaha, DPR, dan pengamat perpajakan menyayangkan masalah penyederhanaan sistem perpajakan tidak dicakup dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Padahal, sistem perpajakan di Indonesia sangat rumit sehingga menghambat investasi masuk.

Seorang tokoh Kadin Indonesia menilai, sistem perpajakan di Indonesia terlalu rumit, sehingga menghambat masuknya investasi. Inilah masalah paling besar bagi Indonesia.

Buktinya, banyak perusahaan multinasional yang tidak menempatkan Indonesia sebagai regional headquarter atau sekadar service center. Perusahaan mancanegara yang beroperasi di Asia Tenggara, bahkan yang mengambil banyak bisnis di Indonesia pun, tetap memilih Singapura sebagai regional headquarter dan service center. Bukan Jakarta.

“Mengapa ini terjadi? Ini karena rumitnya sistem perpajakan kita. Lembaran formulir pajak yang harus diisi terlalu panjang. Tidak sederhana. Silakan belajar kebijakan perpajakan yang diambil Donald Trump di AS. UU Omnibus Law Perpajakan harus dibuat sesuai international best practices,” kata pengusaha tersebut kepada Investor Daily.

Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mengaku heran permasalahan rumitnya sistem perpajakan yang banyak dikeluhkan pengusaha justru belum banyak terakomodasi dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Padahal RUU tersebut sudah melalui beberapa hearing, termasuk dengan pengusaha. Dari 6 klaster RUU Omnibus Law Perpajakan, Prastowo hanya melihat beberapa penyederhanaan berupa penegasan, dan itu belum mencukupi.

“Penyederhanaan pajak mestinya sekalian dilakukan, kan mumpung ada RUU Omnibus Law,” kata Prastowo.

Menurut Prastowo, fenomena perusahaan multinasional tidak menempatkan regional headquarter atau sekadar service center di Indonesia, dan lebih memilih di Singapura secara tidak langsung juga disebabkan administrasi perpajakan yang kurang sederhana, seperti terkait sengketa pajak, pemeriksaan pajak, pengembalian kelebihan pajak, dan pemanfaatan fasilitas pajak.

“Terkait fasilitas pajak, misalnya sudah submit, nggak dapat jawaban, yang seperti ini butuh penegasan aturan jadi lebih sederhana,” papar dia.

Namun demikian, Prastowo menilai penyederhanaan perpajakan masih bisa dilakukan dalam pembahasan RUU Omnibus Law nanti di DPR. “Masyarakat bisa menyampaikan aspirasi ke DPR,” ujarnya.

Tentang dampak UU ini yang akan memangkas penerimaan sekitar Rp 80 triliun, Prastowo menilai sudah terjawab pada klaster 5 yang memuat ekstensifikasi pajak yang diharapkan dapat menutup kekurangan itu. “Di antaranya adalah mendorong fairness perdagangan elektronik. Dengan ekstensifikasi mungkin hasilnya tidak sebesar potensi kehilangan pajak, tapi diharapkan ada objek baru pajak,” kata dia.

Dihubungi terpisah, anggota Komisi XI DPR , Hendrawan Supratikno mengatakan, RUU Omnibus Law Perpajakan semestinya menyentuh soal penyederhanaan sistem perpajakan. “Nanti kita cermati setelah RUU yang resmi diumumkan dan diparipurnakan. Draf yang beredar sekarang belum versi resmi,” katanya.

Adapun Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono berpendapat, RUU Omnibus Law Perpajakan harus menyentuh soal penyederhanaan atau simplikasi perpajakan terutama terkait sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“UMKM menginginkan administrasi perpajakan yang tidak rumit dan tidak menyulitkan mereka. Selain itu, mereka perlu banyak bimbingan dalam pengisian meski sekarang sudah berlaku sistem online, karena banyak juga yang belum paham sehingga mengurangi kepatuhan dan minat dalam membayar pajak,” kata Sutrisno.

Menurut Sutrisno, Omnibus Law bisa menjadi solusi untuk kepastian berusaha, khususnya bagi pengusaha yang beroperasi di daerah. “Saat ini ada hambatan di pajak daerah yang tarifnya bisa berbeda-beda. Kita dukung pengaturannya di level pusat dan kemudian didelegasikan kepada daerah,” kata dia.

Dia mencontohkan di daerah ada hambatan seperti PBB yang tinggi, pajak reklame yang seenaknya, dan pajak hotel yang membebani. “Ini harus fair, pajak reklame kok bisa naik 200%, pajak hotel 300%,” katanya.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menyatakan, masalah penyederhanaan sistem perpajakan tidak diatur dalam Omnibus Law Perpajakan, karena UU ini hanya memuat tentang kebijakan umum. Kalau menyangkut hal yang bersifat administratif, dimuat dalam peraturan yang lain. Dalam hal ini, DJP membuat strategi layanan otomasi.

Saat ini, DJP sudah menjalankan pelayanan dalam bentuk “3C” yaitu “Click, Call, dan Counter”. Sebagian besar pelayanan digeser ke lewat website. “Ke depan akan kami arahkan sebagian besar layanan di website sehingga WP tidak perlu datang ke kantor pajak. Mereka juga bisa melalui call center kita,” ucap Yoga.

Namun untuk pelayanan yang membutuhkan penelitian lebih lanjut, maka akan dilakukan di kantor pusat DJP. Oleh karena itu kapasitas pelayanan ‘kring pajak’ di kantor pusat akan ditingkatkan.

Yoga memberi contoh, pelayanan percepatan restitusi bahkan akan dilakukan melalui website. “Dengan demikian petugas pajak fokus untuk melakukan pengawasan dan edukasi terhadap wajib pajak,” ucap Yoga.

Sumber : Investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only