JAKARTA – Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 kian berat, sehingga pemerintah mesti menaikkan iuran BPJS Kesehatan, membidik setoran dari cukai plastik, cukai minuman berpemanis, dan cukai emisi kendaraan. Namun, defisit APBN masih tetap melebar karena penerimaan negara dari pajak diperkirakan tidak akan mencapai target.
Pengamat ekonomi dari Indef, Riza A Pujarama, mengatakan untuk menekan defisit yang melebar pada 2020 maka pemerintah harus memastikan pendapatan dari perpajakan dapat tercapai. “Tapi, melihat kondisi perekonomian sekarang, tampaknya target dari penerimaan pajak agak sulit tercapai,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/2).
Diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sedang meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan, memungut cukai produk plastik, cukai minuman berpemanis, dan cukai emisi kendaraan. Ini dilakukan untuk menambah penerimaan negara.
Menurut Riza, selain mengoptimalkan pemasukan negara melalui pajak dan cukai, pemerintah mesti memangkas belanja negara yang tidak dapat memberikan stimulus pada perekonomian nasional dan memastikannya dapat mendorong aktivitas ekonomi. “Belanja barang dan belanja pegawai perlu mendapat perhatian khusus karena porsinya telah memakan hampir 50 persen dari anggaran belanja pemerintah pusat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Riza mengatakan pemerintah juga harus memperhatikan porsi utang pokok dan bunga utang yang harus dibayarkan melalui APBN. Sebab, dengan besarnya porsi dari pengeluaran tidak produktif, otomatis akan mengurangi stimulus ekonomi.
“Porsi belanja bunga utang di APBN 2019 mencapai 18, 3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Hal ini membuat kemampuan belanja untuk stimulus ekonomi menjadi berkurang,” ujarnya.
Riza menegaskan, pemerintah juga harus konsisten untuk mencapai keseimbangan primer (lihat infografis) atau penerimaan negara dikurangi belanja di luar pembayangan bunga utang ke arah positif.
“Keseimbangan primer tahun 2018 hanya negatif 11,5 triliun, tapi 2019 malah naik jadi negatif 77,5 triliun rupiah. Ini menggambarkan pemerintah mencari utang baru untuk menutup utang lama,” katanya.
Seharusnya pemerintah melakukan moratorium pembayaran bunga berbunga obligasi rekap eks BLBI sebesar 400 triliun rupiah setiap tahun. Sebab, beban utang masa lalu itu telah membuat APBN jadi “megap-megap”. “Harus berani melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap agar APBN tidak ‘megap-megap’,” tegasnya.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Brawijaya, Agus Yulianto, mengatakan sebaiknya pemerintah harus keluar dari kebiasaan mengelola APBN selama ini, yakni tidak harus mengalokasikan belanja bunga utang. “Sebab, sebagian bunga utang itu tidak produktif sehingga bisa digunakan untuk pos belanja lain, misalnya untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan,” katanya saat dihubungi, Selasa (18/2).
Menurut Agus, sebagian belanja bunga utang tersebut untuk pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI. “Pembayaran bunga obligasi rekap setiap tahun itu tidak produktif. Sebaiknya dialihkan saja untuk pos belanja yang produktif,” katanya.
Pangkas Parasit APBN
Dihubungi terpisah, ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Ma’ruf, mengatakan parasit yang memberatkan APBN harus segera dihentikan mengingat situasi ekonomi global yang cenderung mengalami perlambatan. “Pembayaran bunga obligasi rekap eksi BLBI jelas parasit dan harus dimoratorium pembayarannya. Diperjelas posisi hukumnya, transparan, sehingga tidak terus-menerus memberatkan anggaran negara,” katanya.
Di sisi pengeluaran masih banyak parasit yang bisa dihentikan. Misalnya, gaji pimpinan lembaga sosial seperti BPJS yang kelewat besar padahal BPJS masih saja terus butuh subsidi negara. Begitu juga dengan gaji direksi BUMN. “Tidak bisa gaji para pejabat itu terus mengandalkan rasio 1 persen dari total uang yang diputar perusahaan,” katanya.
Sumber: koran-jakarta.com

WA only
Leave a Reply