ADUPI: Aturan Impor Skrap Perlu Direlaksasi

JAKARTA – Asosiasi Daur Ulang Plastik (Adupi) menyatakan perlu ada rasionalisasi aturan impor skrap plastik yang berlaku saat ini.

Asosiasi menilai hal tersebut dilakukan agar tidak menumbulkan kerugian dari sisi industri daur ulang plastik maupun lingkungan.

Pembina Adupi Willy Tandiyo mengatakan banyak kesalahpahaman pada publik terkait impor skrap plastik. Menurutnya, impor skrap plastik setidaknya memiliki tiga dampak positif terhadap perekonomian maupun lingkungan.

“[Pertama] impor plastik virgin nasional masih di atas 2 juta ton per tahun. Jika sebagian [impor plastik virgin] bisa disubstitusi dengan skrap, akan terjadi penghematan devisa yang cukup besar mengingat harga plastik virgin masih di kisaran US$1.000/metrik ton dan harga skrap [plastik] tidak sampai separuhnya,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/2/2020).

Kedua, impor skrap plastik akan membuka banyak lapangan kerja lantaran industri daur ulang plastik masuk ke dalam kategori industri padat karya. Ketiga, campuran limbah berbahaya dan beracun (B3) dalam skrap plastik impor dapat dikendalikan melalui kewajiban surveyor yang sudah dilakukan importir yang baik selama ini.

Oleh karena itu, Willy menilai perlu ada peningkatan literasi kegunaan skrap plastik. Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini terkesan mengakomodasi kekhawatiran importir plastik virgin. Willy menduga kekhawatiran tersebut didasari oleh harga produk jadi skrap plastik yang lebih murah dari produk jadi plastik virgin.

Selain itu, ujarnya, skrap plastik impor membantu memberikan pajak pertambahan nilai (PPn) yang dibutuhkan pabrikan daur ulang plastik. Di sisi lain, Willy berujar mayoritas pemasok skrap plastik merupakan usaha kecil, menengah, dan mikro (UMKM) yang notabene tidak dapat menerbitkan PPn.

Adapun, Willy menilai urgensi pelonggaran aturan impor skrap plastik cukup tinggi. Willy memaparkan sebagian pabrikan daur ulang plastik akan kesulitan mendapatkan bahan baku lantaran bahan baku lokal memiliki kualitas yang tidak sesuai, volume skrap siap pakai yang rendah, dan kecepatan proses yang belum memadai.

Willy mendata tingkat daur ulang plastik di dalam negeri masih di bawah 10 persen. Dengan kata lain, lanjutnya, masih banyak plastik daur ulang yang tidak terkelola dengan baik. Oleh karena itu, Willy menyarankan agar pemerintah mendorong eksistensi pabrikan daur ulang plastik dengan memperhatikan kelayakan ketersediaan skrap plastik di dalam negeri.

“[Pemerintah perlu] memberikan kemudahan PPn dan regulasi untuk tumbuhnya industri daur ulang plastik, sehingga bisa menarik banyak investor sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor skrap plastik,” ucapnya.

Willy mengutarakan industri daur ulang merupakan salah satu bentuk nyata konsep ekonomi sirkuler. Willy menilai keberadaan plastik yang mudah terurai justru menganggu ekosistem industri daur ulang plastik. Alhasil, volume bahan baku skrap plastik di dalam negeri justru akan berkurang.

“Kekurangan bahan baku yang ada harus dipenuhi dari luar negeri sekaligus menhindari penggunaan plastik virgin,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana sebelumnya mengatakan pihaknya mempertanyakan keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang memasukkan skrap kertas sebagai limbah berbahaya dan beracun (B3). Menurutnya, hal tersebut harus segera dikaji ulang mengingat sebagian barang yang dikategorikan limbah B3 merupakan bahan baku bagi sejumlah pabrikan.

Danang menyatakan pihaknya akan melakukan dialog dengan Kementerian Pertanian, KLHK, Kemendag, dan Kementerian Perindustrian untuk merevisi aturan yang dikeluarkan masing-masing lembaga. Menurutnya, advokasi delapan peraturan tersebut merupakan program prioritas asosiasi untuk tahun ini.

“Ini semua terkait dengan ekspansi manufaktur. Kan target presiden ekspansi manufaktur. Ekspansi manufaktur yang baik akan menyerap tenaga kerja lebih baik,” ujarnya.

Seperti diketahui, aturan impor skrap saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 92/2019. Permendag No. 92/2019 merupakan revisi dari penerbitan Permendag No. 84/2019 yang menyatakan bahwa impuritas skrap logam harus di level 0 persen dan homogen. Terbitnya Permendag No. 92/2019 bukan memperbaiki Permendag No. 84/2019, namun memperburuk tingkat ketersediaan bahan baku dengan adana tambahan persyaratan dari KLHK di luar dari ketentuan Permendag tersebut.

Adapun, pemerintah telah berkomitmen untuk melonggarkan aturan impor bagi skrap logam pada medio kuartal I/2020. Pelonggaran yang dimaksud adalah peningkatan level impuritas menjadi 2 persen dan penggantian kewajiban homogenitas.

Sumber: Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only