Tenang! Sederet Stimulus-Insentif Ditebar demi Jaga Pasar

Jakarta, Kinerja bursa saham domestik sedang terguncang belakangan ini. Dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah tergerus 20,59% secara year to date hingga perdagangan Kamis ini (12/3/2020).

Di awal tahun, kinerja IHSG sebenarnya sempat menunjukkan optimisme setelah ada tanda-tanda perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China tampak akan segera berakhir. Kedua pihak sempat menandatangani perjanjian tahap I penetapan sejumlah tarif masuk impor untuk produk kedua negara.

Namun wabah virus corona yang kemudian menyebabkan penyakit COVID-19 mulai menjadi berita. Kota Wuhan di China menjadi perhatian dunia. Inilah tempat awal mula virus corona yang ditemukan pada Desember 2019.

Korban berjatuhan dan penyebaran virus cepat luar biasa. Tak cuma China yang panik menghadapi virus ini tapi seluruh dunia.

Menurut Worldometers, per Kamis (12/3/2020), COVID-19 sudah menyebar di 121 negara. Sebanyak 126.277 orang terinfeksi dan 4.633 orang meninggal karena kasus ini, sementara jumlah pasien sembuh mencapai 68.286 orang.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada Rabu (11/3/2020) menetapkan wabah virus corona sebagai pandemi.

Penetapan kasus ini menjadi pandemi membuat bursa saham domestik kembali terguncang. Pada penutupan sesi I, Kamis ini, IHSG terpangkas 2,94% ke level 5.002,56.

Kekhawatiran kembali merebak di pasar saham domestik. Padahal pemerintah dan otoritas pasar modal sudah berupaya mengeluarkan banyak insentif.

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan langsung mengeluarkan stimulus berupa insentif pajak penghasilan (PPh), di antaranya berupa PPh Pasal 21 dan PPh 25 atau korporasi.

Penerapan relaksasi PPh Pasal 21 diharapkan bisa menjaga dan menaikkan daya beli masyarakat, di mana pajak akan ditanggung pemerintah, sehingga masyarakat yang bekerja bisa mendapatkan gaji secara penuh.

Sedangkan untuk PPh pasal 25 atau korporasi, relaksasi diharapkan arus uang perusahaan tidak tertahan di sistem perpajakan. Artinya, pemerintah akan memungut atau memperhitungkan pajak perusahaan di akhir tahun.

Bank Indonesia & OJK
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) sudah terlebih dahulu melakukan langkah stabilisasi sesuai dengan tugasnya. BI terus melakukan pembelian SBN pemerintah di pasar sekunder yang dilepas oleh investor.

Tak hanya itu, sebelumnya, BI juga telah melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga 25 bps (basis poin) menjadi 4,75% di Februari 2020. Selain itu, menurunkan giro wajib minimum (GWM) baik rupiah maupun valas.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga meminta bank-bank untuk segera melakukan transmisi penurunan suku bunga kredit perbankan. Selain itu, OJK juga melonggarkan kebijakan kolektabilitas untuk menekan kredit macet (non performing loan/NPL).

Tak sampai di situ, di pasar modal OJK juga mengeluarkan kebijakan yang memperkenankan emiten bisa melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS).

Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga resmi mengumumkan pencabutan seluruh efek yang dapat ditransaksikan secara Short Selling (transaksi menjual kosong saham yang belum dimiliki) dari Daftar Efek Short Selling mulai Senin (2/3/2020).

BEI juga menerapkan kebijakan penghentian sementara perdagangan saham (trading halt) bila saham terkoreksi mulai dari 5% dalam sehari.

Dengan sejumlah kebijakan tersebut, pelaku pasar diharapkan bisa lebih tenang. Namun ketakutan akan gangguan pada mata rantai ekonomi dunia yang bisa berujung pada resesi, lebih menakutkan bagi pasar saham domestik.

“Secara psikologis bagus karena aturan itu akan menjaga pasar tidak jatuh terlalu dalam, dan terbukti ada technical rebound,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Octavianus Budiyanto, Rabu (11/3/2020).

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only