Kata IMF Ekonomi Krisis Akibat Corona, Skenario RI Pertumbuhan Hanya 0 Persen

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan pandemi virus corona telah membuat krisis ekonomi dan keuangan global. Bahkan kondisinya lebih buruk dibandingkan krisis 2008.

“Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana pandemi kesehatan global telah berubah menjadi krisis ekonomi dan keuangan,” kata Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dalam keterangan resmi, Jumat (27/3).

IMF menilai negara-negara maju lebih baik dalam merespons penyebaran virus corona. Namun negara berkembang, terutama negara berpenghasilan rendah, sangat terpukul oleh kombinasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi saat ini.

Antara lain akibat pembalikan aliran modal secara tiba-tiba, yang diperparah oleh penurunan tajam harga komoditas.

Negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah ini, kata Georgieva, membutuhkan bantuan untuk menangani krisis. Utamanya karena likuiditas yang valuta asing yang berkurang dan beban utang yang semakin tinggi.

“Banyak dari negara-negara ini membutuhkan bantuan untuk memperkuat respons krisis mereka dan memulihkan pertumbuhan. Terutama mengingat kekurangan likuiditas valuta asing di negara berkembang dan beban utang yang tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah,” lanjut pernyataan itu.

Untuk mengatasi situasi tersebut, IMF siap menyalurkan dana hingga USD 1 triliun atau sekitar Rp 16.200 triliun, untuk menopang perekonomian negara-negara anggotanya. IMF juga mengajak lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, secara bersama menyalurkan pendanaan darurat.

Bagaimana Nasib Indonesia?

Bos IMF menyebut, hingga saat ini ada 81 negara yang meminta bantuan dana. Secara rinci, 50 negara merupakan berpenghasilan rendah dan 31 negara merupakan berpenghasilan menengah atau negara berkembang.

Menurut Georgieva, lebih dari 40 persen dari total 189 anggota IMF telah meminta bantuan dana darurat.

“Biasanya, kami tidak pernah ada beberapa permintaan secara bersamaan seperti ini,” katanya.

Sayangnya, IMF tak merilis negara mana saja yang telah meminta dana bantuan itu.

Terbaru, IMF menyetujui dana bisa dicairkan segera untuk mengatasi risiko ekonomi Yordania akibat penyebaran COVID-19 sebesar special drawing right (SDR) 102,93 juta atau sekitar USD 139,23 juta.

Untuk Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung mengenai dana darurat yang ada di IMF.

Dia berharap dana itu bisa digunakan untuk bantu pencegahan krisis bagi negara anggota IMF, terutama yang mengalami dana asing keluar (capital outflow).

Kondisi ekonomi Indonesia saat ini memang cukup sulit. Amunisi berupa penerimaan negara sulit diandalkan untuk penanganan corona.

Apalagi, harga minyak global merosot terus memukul penerimaan pajak. Hingga akhir Februari 2020, realisasi penerimaan pajak hanya Rp 152,9 triliun atau turun 5 persen dari tahun lalu (yoy).

Jika dilihat secara rinci, realisasi pajak yang paling tertekan tersebut adalah Pajak Penghasilan (PPh) migas. Hingga akhir bulan lalu, PPh migas hanya Rp 6,6 triliun, anjlok 36,8 persen (yoy). Padahal di Februari 2019, realisasi penerimaan PPh migas sebesar Rp 10,5 triliun, bahkan tumbuh 34,8 persen (yoy).

Belum lagi rupiah yang terus melemah. Bahkan kurs pada pekan lalu sempat menyentuh Rp 16.550 per dolar AS di pasar spot.

Dana asing yang keluar (capital outflow) dari Indonesia juga terus meningkat. Kurang dari sepekan, sudah Rp 20 triliun dana asing cabut dari pasar keuangan domestik.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, sejak awal tahun ini hingga Selasa (24/3), total capital outflow di berbagai instrumen keuangan mencapai Rp 125,2 triliun.

Skenario terburuk pertumbuhan ekonomi

Sri Mulyani bahkan telah memiliki skenario terburuk jika pandemi virus corona ini berlangsung lebih dari enam bulan di Indonesia, yakni pertumbuhan ekonomi bisa 0 persen.

Skenario terjadi jika Indonesia mengambil kebijakan isolasi penuh (lockdown), harga minyak terus anjlok, perdagangan internasional menurun, hingga sektor penerbangan yang mengalami tekanan hingga 75 persen.

“Jika durasi COVID-19 bisa lebih dari 3 sampai 6 bulan, kemudian lockdown, serta perdagangan internasional bisa drop di bawah 30 persen, penerbangan drop sampai dengan 75 persen hingga 100 persen, maka skenario bisa menjadi lebih dalam, pertumbuhan ekonomi bisa di kisaran 2,5 persen bahkan 0 persen,” ujar Sri Mulyani dalam video conference, Jumat (20/3).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, mengatakan dampak ditutupnya sejumlah dunia usaha, seperti mal, tidak hanya membuat penurunan pendapatan bagi perusahaan. Melainkan, efek virus corona juga berdampak pada skala pekerjaan informal.

Bhima melanjutkan, pengaruh virus ini ke pengangguran tidak dalam waktu dekat. Artinya, tidak serta merta dampak virus corona membuat banyak pengangguran di Indonesia.

Berdasarkan data BPS, jumlah pengangguran menjadi 7,05 juta orang di Agustus 2019, dari sebelumnya di Agustus 2018 sebanyak 7 juta orang.

“Mungkin bukan PHK, tapi cuti tanpa dibayar. Ini sudah terjadi di sektor pariwisata atau gaji dibayar 50 persen. Bahkan, beberapa perusahaan sudah berniat tidak membayarkan THR. Kapan efeknya ke pengangguran? di tahun 2021,” papar Bhima

Namun demikian, pemerintah menyatakan akan terus berusaha mendorong perekonomian domestik. Sebanyak Rp 62,3 triliun dana belanja dalam APBN 2020 telah dialokasikan untuk penanganan COVID-19.

Sumber: Kumparan.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only