Fadli Zon ingatkan Pemerintah jangan bohongi rakyat soal hutang negara

Jakarta – Kritik keras dilontarkan Fadli Zon atas peluncuran global bond atau surat utang global oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mirisnya dilakukan dengan nada penuh bangga.

Rezim Joko Widodo selama ini berdalih rasio utang negara masih aman karena masih di bawah 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Menurut Fadli peningkatan jumlah utang sama sekali bukanlah prestasi.

“Selain itu, pemerintah jangan bohongi rakyat seolah-olah rasio utang kita masih aman. Pemerintah selalu berdalih rasio utang kita terhadap PDB tetap aman, krn masih di bawah 60 persen,” ungkap Anggota DPR RI Fraksi Gerindra melalui akun Twitternya, Ahad (12/4/2020).

Dirinya mempertanyakan benarkah 60 persen itu masih sahih dijadikan patokan batas aman bagi perekonomian kita?

“Saya membaca, menurut ekonom senior Rizal Ramli, batas aman yang tepat saat ini adalah 22 persen PDB, bukan 60 persen sebagaimana yang digunakan oleh UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara,” tambahnya.

Sebab, rasio aman yang digunakan dalam UU Keuangan Negara sebenarnya mengacu kepada dua kali rasio pajak negara-negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development).

Karena rasio pajak negara-negara OECD rata-rata 30 persen, maka ditetapkanlah rasio utang yang aman tadi sebesar 60 persen.

“Jadi, kalau kita mengacu pada rasio pajak selama pemerintahan Presiden Jokowi, yang dalam lima tahun terakhir hanya limit 11 persen, maka batas aman utang kita seharusnya adalah 22 persen PDB,” lanjut politisi berdarah Minang ini.

Artinya, kita saat ini sebenarnya sudah melanggar batas aman. Sebab, per Februari lalu, utang pemerintah sudah mencapai Rp4.948,2 triliun, atau setara dengan 30,82 persen PDB. Rasio ini bahkan jauh di atas rasio utang sebelum krisis 1997/1998.

Sebagai catatan, pada 1996, rasio utang kita hanya 24 persen. Pada masanya, angka ini juga pernah dianggap aman. Padahal, saat krisis mulai terjadi, tahun 1997, akibat inflasi dan jatuhnya nilai tukar, rasionya melonjak menjadi 38 persen.

Tahun 1998, rasionya melonjak kembali menjadi 57,7 persen. Antara periode 1999 hingga 2003, rasionya naik lagi menjadi lebih dari 60 persen, masing-masing 85,4 persen (1999), 88,7 persen (2000), 77,2 persen (2001), 67,2 persen (2002), dan 61,1 persen (2003).

Di akhir periode pemerintahan Presiden Megawati, rasio utang kita ada di angka 56,5 persen (2004). Selama sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rasio utang kita berhasil diturunkan hingga tinggal 24,7 persen (2014).

Sayangnya, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi, rasio utang kita kembali meningkat hingga di atas 30 persen.

“Di sisi lain, meski jumlah utang terus meningkat, namun laju kenaikan pendapatan kita jauh tertinggal. Artinya, laju penambahan utang lebih cepat dari kenaikan pendapatan,” lanjut Fadli.

Sebagai pembanding, rata-rata rasio pajak (tax ratio) selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY adalah 14,86 persen. Namun, selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi, rasio pajak kita rata-rata hanya limit 11 persen.

Itu sebabnya, rasio utang Pemerintah terhadap pendapatan negarapun jadi meningkat, dari sebelumnya “hanya” 168,25 persen di akhir periode SBY (2014), menjadi 244,15 persen di akhir periode pertama Jokowi (2019).

“Artinya, jumlah utang kita di akhir tahun 2019 sudah 2,5 kali lebih besar daripada pendapatan. Dengan analisis tadi, klaim jumlah utang kita saat ini masih dalam batas aman bisa membahayakan,” kata Fadli.

Sepanjang lima tahun lalu, Fadli menilai pemerintah tak hati-hati dalam mengelola keuangan negara, sehingga kita kian terjerumus pada jurang defisit.

Sumber : Riaunews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only