Penyebaran wabah Covid-19 yang cepat dan meluas ke seluruh dunia berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Perekonomian global 2020 diproyeksikan tumbuh negatif atau mengalami resesi. Guncangan pasar keuangan global antara lain terlihat pada pembalikan modal (capital outflow) dan tekanan mata uang.
Kementerian Keuangan memperkirakan pertumbuhan Indonesia tahun ini berisiko turun. Pada skenario berat menjadi 2,3 persen dan menjadi negatif 0,4 persen pada skenario sangat berat. Pelemahan perekonomian akan berdampak pada rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan.
Dampak pada rumah tangga yaitu ancaman kehilangan pendapatan dan penurunan daya beli dan konsumsi. Sedangkan, dampak pada UMKM yaitu terganggunya kemampuan pemenuhan kewajiban kredit sehingga meningkatkan kredit macet (NPL) secara signifikan yang berpotensi semakin memperburuk perekonomian.
Begitu pula dampaknya pada korporasi. Gangguan aktivitas bisnis akan menurunkan kinerja bisnis dan pemutusan hubungan kerja. Kemudian memburuknya aktivitas ekonomi akan menularkan pada sektor keuangan.
Perbankan dan perusahaan pembiayaan berpotensi mengalami persoalan likuiditas dan insolvensi atau seseorang atau badan tidak mampu membayar utang tepat waktu. Selain itu, nilai tukar mata uang berpotensi mengalami depresiasi, arus modal keluar (capital flight) dan volatilitas pasar keuangan.
Karena itu, pemerintah Indonesia melebarkan defisit APBN 2020 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Dalam regulasi tersebut batasan defisit anggaran disebutkan dapat melampaui tiga persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB selama masa penanganan Covid-19.
Relaksasi hanya berlaku selama tiga tahun. Setelah itu, diharapkan disiplin fiskal kembali maksimal defisit 3 persen. Dampak pandemi ini diperkirakan membuat relaksasi kebijakan pelebaran defisit dapat mencapai 5,07 persen.
Kondisi tersebut terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Pendapatan negara turun, sementara belanja negara tumbuh. Penerimaan perpajakan dan PNBP turun akibat pelemahan ekonomi, dukungan insentif pajak, penurunan tarif PPh, dan jatuhnya harga komoditas.
Menurut pasal 27 Perppu tersebut, biaya yang dikeluarkan pemerintah merupakan bagian dari biaya pemulihan ekonomi atau penyelamatan krisis dan bukan kerugian negara. Penguatan jaring pengaman sosial (social safety net) dan pembiayaan yang memadai menjadi salah satu upaya dalam menghadapi pandemi.
Sebanyak 183 negara sudah mengeluarkan stimulus yang ekstensif dalam menangani Covid-19 dan mencegah krisi ekonomi. Stimulus tersebut seperti insentif pajak, pemberian pengaman sosial, penjaminan pinjaman, penurunan suku bunga, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing), dan lainnya.
Hal yang sama telah dilakukan Indonesia. Realokasi APBN, stimulus fiskal, moneter, dan sektor keuangan dilakukan sebagai langkah awal penyelamatan ekonomi melawan pandemi.
Langkah penguatan
Pemerintah terus mengulas kebijakan dan merespon situasi terkini sebagai upaya pencegahan terjadinya skenario terburuk dalam ekonomi dan kesehatan. Paket kebijakan stimulus I hingga III dirilis sebagai langkah penguatan perlindungan sosial dan ekonomi menghadapi dampak Covid-19.
Kebijakan stimulus I difokuskan untuk memperkuat perekonomian domestik 2020 melalui belanja. Kebijakan tersebut antara lain percepatan pencairan belanja modal, bantuan sosial, transfer ke daerah dan dana desa, perluasan kartu sembako, subsidi bunga perubahan, insentif sektor pariwisata, dan kartu pra kerja.
Selanjutnya, kebijakan stimulus II difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor impor. Kebijakan jilid II ini dilakukan melalui kebijakan fiskal dan non fiskal.
Relaksasi pajak penghasilan (PPh) pasal 21 untuk pekerja di sektor industri pengolahan dan pasal 22 untuk 19 sektor, pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30 persen, dan relaksasi restitusi PPN bagi 19 sektor dilakukan sebagai langkah kebijakan fiskal. Sedangkan kebijakan non fiskal seperti penyederhanaan lartas ekspor dan impor serta peningkatan dan percepatan layanan ekspor impor.
Dalam memberi daya dukung perekonomian dan menjaga stabilitas, bauran stimulus moneter dan sektor keuangan juga dioptimalkan. Stimulus moneter ini berupa penurunan suku bunga BI 7 Day Repo Rate dan Giro Wajib Minimum, melonggarkan Rasio Intermediasi Makroprudensial, meningkatkan intensitas triple intervension, memperluas underlying transaksi DNDF, dan mendukung penyaluran dana nontunai.
Stimulus sektor perbankan dan perusahaan pembiayaan dengan peningkatan kualitas kredit menjadi lancar setelah restrukturisasi. Selain itu, penilaian kualitas kredit hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga untuk kredit hingga Rp 10 miliar.
Akan tetapi, langkah awal penyelamatan ekonomi tersebut dinilai masih belum mencukupi. Karena itu, dilakukan tambahan dana pada belanja dan pembiayaan sebesar Rp 405,1 triliiun untuk mencegah memburuknya kondisi kesehatan, sosial, ekonomi dan keuangan. Namun, konsekusensinya adalah defisit APBN menjadi melebar.
Peluncuran stimulus III fokus pada penanganan kesehatan, bantuan sosial, membantu dunia usaha, dan pemulihan ekonomi. Sifat kombinasi stimulus ini diciptakan untuk mencegah krisis ekonomi berkelanjutan dan mendalam.
Tambahan belanja dan pembiayaan dalam bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk subsidi iuran penyesuaian tarif pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (Rp 3 triliun), insentif tenaga medis pusat dan daerah (Rp 5,9 triliun), santunan kematian untuk tenaga kesehatan (Rp 0,3 triliun), dan belanja penanganan kesehatan (Rp 65,8 triliun).
Sementara itu, tambahan belanja untuk bantuan sosial sebesar Rp 110 triliun. Rincian anggaran ini antara lain penambahan jaringan pengaman sosial (Rp 65 triliun), cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar atau logistik (Rp 25 triliun), dan penyesuaian anggaran pendidikan penanganan Covid-19 (Rp 20 triliun).
Dalam mendukung industri, tambahan pembiayaannya sebesar Rp 70,1 triliun. Sedangkan pembiayaan dalam mendukung program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun.
Kementerian dan lembaga juga perlu mengutamakan penggunaan anggaran untuk kegiatan yang mendukung percepatan penangangan Covid-19. Dengan kata lain melakukan refocussing kegiatan dan realokasi anggaran.
Risiko pelebaran
Kebijakan yang diambil pemerintah tersebut tidak lepas dari risiko. Besarnya stimulus dan pelebaran defisit merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Risiko pelebaran defisit APBN hingga tahun 2022 perlu diwaspadai. Setidaknya terdapat empat risiko yang mengancam.
Pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN). Penerbitan surat utang ini merupakan salah satu sumber pembiayaan defisit. Sekitar 35 hingga 40 persen SUN dipegang oleh investor asing.
Namun, keadaan tersebut membuat struktur anggaran rentan terhadap pelarian modal yang secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Akibatnya, imbal hasil SUN meningkat dan di masa yang akan datang beban biaya penerbitan SUN menjadi lebih besar.
Kedua, risiko pelemahan nilai tukar mata uang rupiah. Modal yang keluar secara tiba-tiba di pasar keuangan akan mendorong rupiah terdepresiasi. Akibatnya, beban biaya impor dan pembayaran cicilan utang menjadi mahal dan semakin memberatkan.
Ketiga, risiko kesulitan yang dialami swasta dalam mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri karena investor lebih memilih surat utang pemerintah dibanding swasta (crowding out). Akibatnya, swasta harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi dibanding pemerintah.
Terakhir, risiko kenaikan utang luar negeri swasta. Hal tersebut disebabkan karena sulitnya pihak swata dalam mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri sehingga pilihan utang luar negeri digunakan.
Terlebih ketika suku bunga di luar negeri menurun. Pilihan ini berisiko gagal bayar karena utang tersebut berdenominasi dolar AS yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
Keberadaan risiko-risiko tersebut membuat pemerintah perlu melakukan pengawasan penggunaan anggaran yang telah dikucurkan. Selain itu, pemerintah perlu memastikan keefektifan stimulus dalam menekan dampak negatif Covid-19 pada rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan.
Efektivitas ini perlu dilakukan untuk mencegah tumpulnya kebijakan yang mempertaruhkan mahalnya pelebaran defisit anggaran negara.
Sumber: kompas.id
Leave a Reply