Kabar Buruk Minyak Anjlok, Defisit APBN Bengkak ke Rp 865 T

JAKARTA — Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memprediksi defisit APBN 2020 akan bertambah Rp 12,2 triliun karena harga minyak yang anjlok. Maka Defisit APBN 2020 akan menjadi Rp 865,1 triliun.

Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan adanya wabah pandemi covid-19, membuat harga minyak dunia menurun sejak awal tahun.

Harga minyak terus menurun sejak Senin, 13 April 2020, terutama jenis West Texas Intermediate (WTI) yang disebabkan oleh permintaan global yang semakin menurun dan sentimen negatif yang berasal dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang kontraktif.

Harga WTI kontrak Mei sempat berada pada level negatif US$ 37 per barel. Menurut Febrio, dalam kondisi seperti ini produsen harus segera menyerahkan stok kepada konsumen karena faktor penyimpanan yang terbatas.

Harga minyak yang terus merosot ini, diperkirakan hanya berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI kontrak pada Juni masih berkisar pada US$ 20 per barel.

Sementara, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) saat ini sedikit di atas harga minyak Brent. Perubahan ICP akan berdampak terhadap APBN. Hal itu karena baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54 tahun 2020 ialah US$ 38 per barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020.

“Jika harga terus mengalami penurunan sehingga ICP menjadi US$ 3,09 per barel dengan rata-rata setahun, maka defisit diperkirakan bertambah Rp 12,2 triliun,” jelas Febrio dalam siaran resminya, Rabu (22/4/2020).

Seperti diketahui, melalui Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2020,pemerintah melebarkan defisit anggaran menjadi Rp 852,9 triliun atau setara 5,07% terhadap PDB dari yang sebelumnya hanya sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.

Dengan adanya perkiraan bertambahnya defisit Rp 12,2 triliun karena harga minyak ini, maka defisit APBN 2020 menjadi Rp 865,1 triliun.

“Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif termasuk pengendalian defisit. Salah satunya melalui evaluasi atas belanja non-produktif dan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi,” tutur Febrio.

Tambahan informasi, pelebaran defisit dikarenakan pemerintah mengubah target penerimaan negara menjadi Rp 1.760,9 triliun dari sebelumnya Rp 2.233,2 triliun. Target itu terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.462,6 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 297,8 triliun, dan penerimaan hibah sebesar Rp 500 miliar.

Di satu sisi, dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2020 ini juga pemerintah mengubah target belanja negara menjadi Rp 2.613,8 triliun dari sebelumnya sebesar Rp 2.540,4 triliun.

Anggaran belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.596 triliun dan TKDD sebesar Rp 762,7 triliun. Pemerintah juga menambah pos belanja khusus untuk penanganan COVID-19 sebesar Rp 255,1 triliun.

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only