Chatib Basri: Atasi Pandemi Dulu, Baru Beri Diskon Tiket

JAKARTA – Menteri Keuangan Periode 2013-2014 Chatib Basri menuturkan, pemerintah dapat melakukan kebijakan fiskal tradisional (traditional pump primping) apabila pandemi virus corona (Covid-19) sudah tertangani dengan baik. Apabila sekarang fokus mendorong tingkat konsumsi seperti yang biasa dilakukan, risiko inflasi akan meningkat.

Salah satu kebijakan tradisional yang dimaksud Chatib adalah memberikan potongan harga pada tiket pesawat. Kebijakan ini diketahui sempat menjadi bagian dari stimulus pertama pemerintah.

“Setelah tingkat infeksi berkurang, baru traditional pump priming, berikan diskon pariwisata,” ujarnya dalam diskusi melalui live streaming pada Selasa (21/4).

Chatib menyebutkan, kebijakan fiskal tradisional hanya efektif apabila disrupsi terjadi pada sisi permintaan seperti yang terjadi pada krisis keuangan global 2008. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan membuat stimulus yang fokus pada konsumsi domestik karena perlambatan permintaan eksternal.

Berbagai stimulus untuk mendorong konsumsi diberikan, dari pemotongan pajak hingga bantuan langsung tunai (BLT). Dampaknya, Chatib mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara yang berhasil survive dan tumbuh postifi hingga 4,6 persen di tengah krisis global.

“Karena kita bisa memindahkan masalah eksternal jadi fokus ke domestik,” kata ekonom senior tersebut.

Tapi, situasi saat ini berbeda. Chatib menjelaskan, pandemi Covid-19 menyebabkan kombinasi shock pada permintaan dan ketersediaan. Dampaknya, pemerintah harus membuat langkah extraordinary untuk mengantisipasi dari kedua sisi.

Sisi permintaan terganggu mengingat China yang menjadi sumber penyebaran Covid-19 merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia. Komoditas utama yang biasa dikirim ke Negeri Tirai Bambu adalah batu bara dan kelapa sawit.

Ketika permintaan dari China menurun akibat krisis kesehatan, pertumbuhan ekspor ikut melambat yang kemudian berdampak pada penerimaan pajak. “Pajak paling besar itu dair batu bara dan sawit,” kata Chatib.

Di sisi lain, China berkontribusi hingga 20 persen terhadap ketersediaan produk global. Ketika mereka memberlakukan lockdown dan tidak dapat memproduksi barang, maka negara lain ikut kesulitan. Dampaknya, terjadi supply shock.

Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan social distancing hingga lockdown di beberapa negara. Chatib menuturkan, dalam prinsip ekonomi, pasar bisa diciptakan apabila ada pertemuan antara pembeli dengan penjual.

Ketika masyarakat tidak bisa atau terbatas keluar rumah, maka permintaan dengan penawaran tidak dapat dilakukan.

Chatib menilai, aktivitas jual beli tidak dapat terjadi kecuali memang konsep pasar sudah diubah secara online. Permasalahannya, tidak semua aktivitas dapat dilakukan melalui aplikasi maupun situs.

“Misalnya, pariwisata yang butuh user experience. Tidak mungkin wisata lewat Youtube,” tuturnya.

Sumber : Republika.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only