Terdampak Covid-19, Sebanyak 20.018 Perusahaan Ajukan Keringanan Pajak

JAKARTA, Hingga 21 April 2020, sebanyak 20.018 perusahaan manufaktur mengajukan permohonan insentif pajak terkait Covid-19. Tingginya pengajuan insentif pajak mengonfirmasi lesunya aktivitas manufaktur dalam negeri.

Insentif pajak dari pemerintah untuk sektor manufaktur mencakup Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atau PPh karyawan untuk penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun, pembebasan PPh Pasal 22 impor dan PPh Pasal 23, serta pengurangan PPh Pasal 25 atau PPh badan sebesar 30 persen.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyatakan, permohonan terbanyak adalah insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, yakni 12.062 perusahaan. Dari jumlah itu, permohonan 9.610 perusahaan disetujui. Sebagian permohonan ditolak karena klasifikasi lapangan usaha (KLU) tidak sesuai ketentuan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Covid-19, insentif PPh Pasal 21 dapat diajukan oleh perusahaan yang termasuk 440 KLU dan yang ditetapkan sebagai perusahaan Kemudahan Impor Bertujuan Ekspor (KITE).

”Permohonan insentif akan ditolak jika KLU tak sesuai kriteria peraturan Menteri Keuangan dan SPT (surat pemberitahuan tahunan) 2018 belum disampaikan sebagai basis penentuan KLU,” kata Suryo dalam telekonferensi di Jakarta, Rabu (22/4/2020).

Permohonan insentif tertinggi setelah PPh Pasal 21 adalah PPh badan. Insentif berupa pengurangan PPh badan sebesar 30 persen diberikan kepada 2.816 perusahaan dari total 4.346 perusahaan pemohon. Insentif PPh badan tetap berlaku meski tarif PPh badan diturunkan jadi 22 persen tahun ini.

Menurut Suryo, sejumlah insentif pajak diberikan untuk menjaga arus kas perusahaan dan pegawai, terutama di sektor manufaktur, yang makin lesu akibat pandemi Covid-19. Setoran pajak yang tidak dipungut pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan menggerakkan roda perusahaan.

Lesunya aktivitas manufaktur tecermin dari setoran pajak per sektor. Pemberian insentif berimbas pada kontraksi penerimaan pajak. Realisasi PPh karyawan per Maret 2020, misalnya, mencapai Rp 36,58 triliun atau tumbuh 4,94 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan realisasi Maret 2019 yang sekitar 14,7 persen secara tahunan. Adapun realisasi PPh badan mencapai Rp 34,54 triliun atau turun 13,56 persen.

Secara terpisah, peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, berpendapat, dampak pandemi ke penerimaan pajak tergantung jangka waktu dan kedalaman krisis. Berkaca dari sejarah, krisis ekonomi acap kali menurunkan rasio pajak hingga 1,5 persen produk domestik bruto (PDB) di setiap negara.

Pemerintah dapat merumuskan strategi jangka pendek penerimaan pajak. Di banyak negara, jenis pajak yang paling stabil terhadap guncangan krisis adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Konsumsi. Keduanya bisa dijadikan penopang penerimaan di tengah pandemi.

Perluasan basis PPN dapat ditempuh untuk menambal penerimaan yang lesu ataupun potensi yang hilang akibat pemberian insentif. Penerimaan PPN akan terjaga sepanjang tidak terjadi guncangan di sisi pasokan dan harga. Karena itu, distribusi dan pasokan barang harus dijaga.

Secara terpisah, Kepala Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean menuturkan, pembatasan sosial telah menyebabkan kontraksi di beberapa sektor, seperti konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transporasi, serta jasa hiburan. Indikasi turunnya aktivitas ekonomi di berbagai sektor berkisar 35-55 persen.

Tim ekonom CIMB Niaga memproyeksikan perekonomian RI tumbuh negatif pada triwulan II-2020, dengan memperhitungkan faktor musiman. Pertumbuhan ekonomi mulai bergerak positif pada triwulan III dan IV-2020. Adapun sepanjang tahun 2020 perekonomian diproyeksikan tumbuh 1,8 persen dengan rerata inflasi 2,7 persen.

Sumber: kompas.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only