Buruh Dihimpit Bayang Corona, PHK dan Ancaman Omnibus Law

Jakarta, Peringatan Hari Buruh Internasional atau Mayday yang jatuh pada Jumat 1 Mei ini terasa ambyar bagi kaum buruh. Tak ada aksi turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka.

Di sisi lain, pandemi virus corona yang mewabah di Indonesia berdampak parah bagi kaum buruh dan kelas pekerja karena berada dalam bayang-bayang ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan pada 13 April lalu menyebut jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat corona mencapai 2,8 juta orang.

Soal ancaman PHK itu diakui pula oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan dia tegas memerintahkan kepada seluruh jajarannya untuk memutus rentetan PHK karena sudah mulai menimbulkan kekhawatiran.

Catatan dia, setidaknya wabah corona telah membuat 375 ribu pekerja formal dan 315 ribu pekerja informal terkena PHK. Tak hanya itu, pandemi ini juga sudah membuat sekitar 1 juta pekerja informal dirumahkan.

Pemerintah sejatinya tak tinggal diam. Berbagai cara dilakukan, salah satunya dengan menolong pelaku usaha melalui gelontoran sejumlah stimulus kebijakan. Misalnya, penundaan pembayaran PPh Pasal 22 dan Pasal 25 untuk sektor manufaktur selama enam bulan. PPh 22 merupakan keringanan Pajak Penghasilan Badan atas Kegiatan Impor Barang Konsumsi.

Kemudian, PPh 25 bisa diartikan sebagai pajak bulanan untuk orang pribadi dan badan yang memiliki kegiatan usaha.

“Pastikan semua program stimulus ekonomi yang diputuskan betul-betul dilaksanakan sehingga manfaatnya dirasakan pelaku usaha,” kata Jokowi dalam pembukaan Rapat Terbatas tentang Mitigasi Dampak Covid-19 terhadap Sektor Ketenagakerjaan di Jakarta, Kamis (30/4).

Kendati demikian, langkah itu dinilai tidak dapat dirasakan langsung oleh kaum pekerja.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Pusat, Sunarno beranggapan pemerintah belum menangani perkara itu secara serius sampai ke akar rumput, dalam hal ini kepada mereka yang bekerja langsung di lapangan.

Faktanya, kata dia, masih banyak perusahaan yang merumahkan atau melakukan PHK kepada para pekerjanya, efek pandemi virus corona.

“Masalahnya menurut kami, ini kegagapan atau kegagalan dari pemerintah kita, khususnya disnaker dalam mengantisipasi corona virus ini,” kata Sunarno saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (30/4) malam.

Meski tak berharap bantuan langsung, namun dia menyoroti ketidakhadiran pemerintah sebagai pihak penengah antara buruh dan pengusaha, khususnya dalam mencari solusi terhadap masalah yang timbul akibat pandemi Covid-19.

“Nggak ada titik temu, biasanya (mediasi) kan di Disnaker. Tapi saat ini sulit untuk ketemu dengan Disnaker karena mereka bekerja dari rumah dan kalau ada itu hanya piket misalnya,” kata dia.

Situasi itu berakibat pada lambatnya penanganan masalah. Ujung-ujungnya perusahaan melakukan PHK secara sepihak.

Ancaman Omnibus Law

Ancaman terhadap buruh bukan hanya datang dari PHK dampak pandemi corona, lanjut Sunarno, tetapi juga Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Pemerintah maupun DPR sejauh ini masih bersikeras membahas Omnibus Law di tengah situasi negara menghadapi pandemi virus corona. Meski Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan, bukan berarti ancaman Omnibus Law selesai.

“Kami itu menuntut Omnibus Law (RUU Ciptaker) itu dibatalkan secara keseluruhan,” kata Sunarno.

Menurut dia, RUU Cipta Kerja tidak menyentuh sejumlah persoalan prinsip yang dihadapi buruh saat ini. Misalnya aturan mengenai sistem pengupahan, kontrak kerja, sanksi, hingga status kepegawaian yang sangat nyata merugikan buruh apabila diubah melalui RUU Cipta Kerja.

“Itu kan yang prinsip di kami. Kalau beberapa persoalan itu diubah, ya buruh akhirnya nggak punya jaminan kepastian bekerja,” lanjut dia.

Diketahui masalah ketenagakerjaan tertuang dalam Bab IV RUU Ciptaker. Isinya terkait perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya sudah menyoroti banyak hal terkait perubahaan ketentuan yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja.

Salah satunya soal pengupahan. Dia mengkritik perubahan aturan terkait upah minimum. Ia mengatakan dalam draf RUU Ciptaker tak lagi diatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).

Harus Dibatalkan

Pengamat Sosial-Politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun pun menilai pemerintah harus segera membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja, alih-alih hanya melakukan penundaan.

Menurut dia, di situasi pandemi saat ini, negara memerlukan ketenangan sehingga tidak cenderung mengambil keputusan yang sangat berpotensi menimbulkan masalah baru.

Dari segi keadaan sosial, kelompok buruh saat ini rentan untuk bergejolak dan melakukan perlawanan apabila terdapat keputusan-keputusan yang dinilai merugikan. Situasi mereka pun kini bertambah berat dengan sejumlah kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah yang turut menuai polemik.

Misalnya kebijakan Kementerian Hukum dan HAM membebaskan puluhan ribu narapidana atau anak binaan melalui program asimilasi dan integrasi. Kebebasan para narapidana itu hanya menciptakan ketidakamanan sosial, yang tentu juga mengancam para buruh.

“Penderitaan buruh itu berbaur dengan kondisi sosial yang nggak aman,” kata Ubedilah saat dihubungi.

Belum lagi, kata dia, keadaan ekonomi yang semakin membuat para buruh harus bertahan hidup di tengah situasi yang tak menentu saat ini.

“Mereka (buruh) punya daya tahan ekonomi itu nggak bisa lama (jika terkena PHK, dsb), perkiraan saya 1 atau 2 bulan mereka sudah kelabakan, kondisi ekonomi (mereka) semakin parah,” ujarnya.

“Dalam situasi itu, saya kira tentu memunculkan yang disebut ketegangan sosial yang meningkat,” lanjut dia.

Karenanya, dalam situasi saat ini, dia beranggapan pemerintah tidak boleh menunjukkan sikap yang cenderung memberi angin segar kepada pengusaha ataupun investor. Sebaliknya pemerintah harus berpikir panjang dalam mengambil sikap dan tindakan menghadapi potensi gejolak buruh-pengusaha efek pandemi virus corona.

Sumber: cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only