Belum Sembuh, Ekspor & Impor China Melempem karena Corona

Jakarta, CNBC Indonesia – Ekspor China mengalami kontraksi pada Mei karena langkah penguncian (lockdown) yang diterapkan di banyak negara untuk memerangi wabah virus corona (COVID-19) telah menghancurkan permintaan.

Di sisi lain, impor negara itu juga mencatatkan penurunan yang lebih tajam dari yang diperkirakan. Ini menambah tekanan pada produsen negara itu di tengah terhentinya pertumbuhan global.

Menurut data bea cukai yang dirilis pada Minggu (7/6/2020), ekspor barang ke luar negeri pada bulan Mei turun 3,3% dari tahun sebelumnya. Padahal pada bulan April lalu, ekspor China secara mengejutkan naik 3,5%. Namun demikian, angka penurunan ekspor tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan perkiraan penurunan 7% dalam jajak pendapat Reuters.

Impor China, sementara itu, tercatat merosot sebesar 16,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini lebih buruk dari penurunan 14,2% pada bulan lalu dan menjadi penurunan paling tajam sejak Januari 2016. Angka itu juga lebih buruk dari perkiraan untuk penurunan 9,7% pada bulan Mei.

“Ekspor mendapat manfaat dari pasar ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) dan depresiasi nilai tukar, sementara impor dipengaruhi oleh permintaan domestik yang tidak mencukupi dan penurunan harga komoditas,” kata Wang Jun, kepala ekonom Zhongyuan Bank, sebagaimana dilaporkan CNBC International.

Akibatnya, China mencatat surplus perdagangan yang tinggi bulan lalu, mencapai rekor di US$ 62,93 miliar. Itu merupakan angka yang tertinggi sejak Reuters mulai melakukan perhitungan pada tahun 1981. Angka surplus itu juga lebih besar dibandingkan dengan perkiraan jajak pendapat yang sebesar US$ 39 miliar dan lebih tinggi dari surplus US$ 45,34 miliar yang tercatat pada April.

Surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat juga kian melebar, menjadi US$ 27,89 miliar pada Mei, menurut perhitungan Reuters berdasarkan data pabean.

Naiknya angka surplus China terjadi di tengah ketegangan dagang antara negara itu dengan Amerika Serikat (AS). Kenaikan itu juga terjadi di saat China telah berjanji untuk melakukan pembelian produk-produk AS dalam skala besar untuk mengurangi surplusnya dalam berdagang dengan AS.

Sebelumnya pada awal tahun ini, AS-China telah menandatangani kesepakatan dagang Fase I, yang di dalamnya termasuk janji China untuk meningkatkan pembelian produk-produk AS. Perjanjian itu digarap kedua negara untuk mengakhiri perang dagang mereka yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir.

Presiden AS Donald Trump telah meluncurkan perang dagang dengan China, yang salah satu alasannya adalah karena mencurigai negara itu telah melakukan praktik dagang yang tidak adil sehingga membuat AS merugi dan banyak mencatatkan defisit dalam perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu.

Menanggapi ini, Zhang Yi, kepala ekonom di Zhonghai Shengrong Capital Management mengatakan bahwa meskipun kinerja ekspor mengalahkan ekspektasi, namun kesulitan yang dihadapi oleh perusahaan perdagangan tradisional tidak boleh diabaikan.

“Di masa depan ekspor pada dasarnya akan mencatatkan pertumbuhan negatif, tetapi tidak perlu terlalu pesimistis. Itu seharusnya berada dalam kisaran -10%,” kata Zhang.

“Impor tunduk pada ketidakpastian yang lebih besar, tergantung pada pemulihan permintaan pasar domestik dan implementasi perjanjian Fase I antara China dan Amerika Serikat,”

Sebelumnya, ekonomi China telah menyusut 6,8% pada kuartal pertama dari tahun sebelumnya. Akibat berbagai ketidakpastian, pada akhir Mei pemerintah China mengumumkan bahwa mereka tidak menetapkan target pertumbuhan tahunan lagi. Itu merupakan kali pertama sejak 2002 bagi pemerintah China melakukan hal tersebut.

Menurut analis, keputusan itu mencerminkan sikap berhati-hati pemerintah pada pelonggaran kebijakan, meskipun beberapa pihak memperkirakan permintaan domestik akan sedikit meningkat, sementara kondisi ekspor tetap tidak dapat diprediksi.

Sumber : Cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only