Trump keberatan Indonesia tarik pajak digital, bagaimana sikap DJP?

JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donanld Trump keberatan dengan penerapan pajak digital yang sudah dan akan diterapkan oleh sejumlah negara seperti Inggris, Spanyol, Austria, Republik Ceko, Brasil, India, Turki, termasuk juga Indonesia. 

Perwakilan Dagang United States Trade Representative (USTR) Robert Lighthizer menyampaikan untuk menindaklanjuti arahan Trump, pihaknya akan menjalankan investigasi ke negara-negara terkait. Sebab menurutnya, pajak transaksi elektronik (PTE) saat ini cenderung tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan-perusahaan digital asal AS. 

Lighthizer menyebut bila investigasi menemukan adanya pemungutan pajak yang diskriminatif, maka Negeri Paman Sam tidak segan untuk melakukan tarif pembalasan yang bakal diterapkan sebelum akhir tahun.

“Presiden (Donald) Trump khawatir bahwa banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil. Kami siap untuk mengambil semua tindakan untuk membela bisnis dan kepentingan kami dari diskriminasi semacam itu,” kata Lighthzer, dikutip dari Reuters, Jumat (5/6).

Kendati mendapat ancaman dari AS, pemerintah Indonesia nampaknya belum mau buka suara. Yang jelas per tanggal 1 Juli nanti, Indonesia bakal menarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas nilai barang/jasa digital dengan thresh hold tertentu. 

Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Gutagaol sebelumnya menyebutkan, setelah pemerintah berhasil menarik PPN atas perdagangan elektronik, otoritas pajak akan pararel mengenakan pajak penghasilan (PPh) atau PTE perusahaan digital. 

Hanya saja, pemerintah masih menunggu konsensus global terkait nasib pajak digital. Sayangnya, kesepakatan lebih dari 137 negara/yurisdiksi termasuk Indonesia di dalamnya, akan molor dari waktu sebelumnya yang dijadwalkan berlangsung di bulan ini.

Yang penting, saat ini Indonesia sudah mempunyai payung hukum PPh atau PTE PMSE dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang merupatan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai pelaksanaan PMK 48/2020 tidak akan dipermasalahkan oleh AS. Sebab, PPN dalam lintas yurisdiksi pada dasarnya sudah memiliki konsensus global yang merujuk pada destination principle

Artinya, PPN dipungut oleh negara tempat dimanfaatkannya/dikonsumsinya barang dan/atau jasa kena pajak. Sedangkan, untuk PPh saat ini belum ada konsensus globalnya. Inilah yang kemudian mendorong berbagai aksi unilateral, termasuk melalui skema digital services tax (DST).

“Sayangnya, DST umumnya hanya ditargetkan pada perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto global tertentu. Dengan threshold tersebut, DST kemudian menyasar mayoritas perusahaan digital AS. Inilah yang membuat AS meluncurkan investigasi. Contoh saja investigasi USTR pada akhir tahun lalu terhadap DST Prancis,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (8/6).

Nah, melalui UU Nomor 2/2020,Indonesia berupaya mengenakan PPh atas perusahaan digital dengan konsep kehadiran ekonomi secara signifikan untuk menjamin ketersediaan hak pemajakan. Namun, apabila konsep tersebut berbenturan dengan tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dengan negara mitra, baru kemudian menggunakan skema pajak transaksi elektronik (PTE) yang mirip dengan DST. 

“Kalau menurut saya, kita tidak perlu buru-buru menarik PTE. Jika konsensus ada, maka kita tinggal menyesuaikan. Sedangkan, jika konsensus tidak tercapai, maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” ujar Darussalam. 

Sumber : KONTAN.CO.ID

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only