Sri Mulyani Proyeksi Rasio Utang Pemerintah Tembus 37 Persen

JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) akan meningkat 7 persen sepanjang tahun ini.

Hal itu disampaikan dalam diskusi virtual bertajuk Rebirthing The Global Economy to Deliver Sustainable Development yang diselenggarakan United Nation, Rabu (1/7) malam, saat berbicara mengenai dampak pandemi covid-19 terhadap perekonomian di berbagai negara.

Posisi utang pemerintah per akhir Januari 2020 mencapai Rp4.817,55 triliun. Dengan asumsi PDB per kapita akhir Januari Rp15.944,78, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi 30,21 persen.

Sebagai bendahara negara, Ani juga bercerita soal tekanan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang mengalami dua kali revisi pada tahun ini.

“Kita memiliki rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih rendah, yaitu sekitar 30 persen, tetapi segera dalam satu tahun rasio utang terhadap PDB akan berpotensi meningkat hingga 37 persen dari PDB,” ucap Ani, panggilan akrabnya.

Ia mengatakan pada awalnya defisit APBN hanya diproyeksikan sebesar 1,7 persen terhadap PDB.

“Anggaran kami tahun ini dirancang untuk 1,7 persen dari defisit PDB, sangat kecil jika Anda bandingkan dengan negara-negara lain di dunia,” terang dia.

“Tapi, karena covid-19 sekarang ini, kami segera merevisi anggaran kami dengan defisit hingga 6,3 persen PDB. Peningkatan yang signifikan dan saya yakin semua negara pasti menghadapi situasi yang sama,” jelasnya.

Problemnya bagi negara berkembang, kata Ani, pembiayaan untuk penanganan pandemi covid-19 dan stimulus untuk meredam dampak terhadap perekonomian sangat sulit didapatkan.

Ia menyoroti sejumlah lembaga pembiayaan atau kreditor multilateral yang memberikan utang dengan bunga tinggi kepada negara-negara berkembang di tengah pandemi covid-19.

Menurut Ani, keadaan ini menunjukkan masih ada diskriminasi terhadap negara-negara berkembang untuk bisa mengakses pembiayaan yang murah dari lembaga multilateral.

“Ini adalah diskriminasi, dan tidak menciptakan kesempatan yang sama bagi banyak negara untuk dapat mengejar ketinggalan atau untuk mengatasi masalah terkait pandemi ini dengan cara modern yang disebut ‘kualitas yang lebih baik”,” sebut Ani.

Meski demikian, lanjut dia, bukan berarti kreditor multilateral memberikan bunga tinggi kepada negara-negara berkembang. Ia mengatakan banyak pula lembaga yang mendukung negara-negara berkembang dengan utang murah untuk biaya social safety net.

Hanya saja karena jumlahnya terbatas, akhirnya banyak negara harus beralih ke alternatif pembiayaan lain mulai dari pasar modal, obligasi dan sebagainya.

“Dalam hal ini saya benar-benar ingin menyatakan penghargaan saya kepada beberapa lembaga multilateral yang merespons dengan menyediakan tidak hanya pembiayaan dan pencairan yang sangat cepat, tetapi juga fokus untuk mendukung negara-negara untuk dapat mengatasi masalah ini,” pungkas Ani.

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only