Menguji Proyeksi Ma’ruf Amin soal Ekonomi Pulih pada 2022

JAKARTA — Wakil Presiden Ma’ruf Amin memproyeksikan pemulihan ekonomi Indonesia baru akan terjadi pada 2022. Untuk sampai pada fase tersebut, menurutnya, pemerintah perlu mengubah strategi dan arah kebijakan lima tahun ke depan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Revisi RPJMN juga dibutuhkan untuk memberi prioritas pada sektor-sektor ekonomi produktif yang bisa membantu Indonesia keluar dari krisis akibat covid-19. “Jadi revisi akan dilakukan,” ujarnya saat memberikan kuliah umum bagi peserta PPRA 60 dan 61 Lemhannas melalui teleconference, Kamis (9/7).

Asumsi Ma’ruf atas jeda waktu dua tahun yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi Indonesia memang cukup realistis dan masuk akal. Pasalnya, hingga saat ini belum ada kepastian kapan pandemi bisa berakhir. Hal ini pula yang menyebabkan berbagai lembaga internasional memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global dari waktu ke waktu.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), misalnya, April lalu memprediksi perekonomian dunia akan tumbuh -3,0 persen pada 2020 dan 5,8 persen pada 2021. Dua bulan setelahnya, yakni Juni 2020, proyeksi tersebut dipangkas menjadi -4,9 persen dan 5,4 persen.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menilai apa yang disampaikan Ma’ruf perlu jadi alarm bagi pemerintah. Sebab, pemulihan ekonomi Indonesia memang sangat bergantung pada selesainya pandemi Covid-19.

“Asumsi ini realistis karena sampai saat ini belum ada vaksin yang benar-benar teruji efektif menyembuhkan covid-19. Tanpa adanya vaksin maka wabah masih akan terus berlangsung lama,” ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/7).

Piter berpendapat pemulihan ekonomi bisa dipacu lebih cepat asalkan vaksin bisa ditemukan akhir tahun ini di awal tahun 2021. Sebab tanpa vaksin, niscaya roda perekonomian tak bisa berputar sekencang tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengingat masih diberlakukannya pembatasan berbagai aktivitas publik untuk menekan angka penularan virus.

Ia menyitir data pertumbuhan penerimaan pajak secara sektoral Juni yang dirilis Kementerian Keuangan. Dalam data tersebut, pertumbuhan pajak manufaktur masih mengalami kontraksi sebesar 38,2 persen, meski lebih rendah dibandingkan kontraksi Mei 2020 yang mencapai 45,2 persen.

Begitu pula pertumbuhan pajak sektor perdagangan yang masih turun 21,2 persen kendati lebih baik dibandingkan kontraksi Mei sebesar 40,7 persen.

“Kuartal III dan IV memang bisa bangkit, tapi bukan berarti tumbuh, melainkan kontraksinya tidak sedalam kuartal II yang kontraksinya sangat dalam akibat PSBB. Dengan pelonggaran PSBb memang ekonomi sedikit membaik, tapi tetap terkontraksi,” imbuhnya.

Menurut Piter, hal yang paling penting dilakukan pemerintah saat ini adalah mempercepat realisasi belanja negara untuk mendorong sektor-sektor usaha yang masih bisa diselamatkan.

Jika hal ini tak berhasil menggerakkan aktivitas perekonomian di kuartal III tahun ini, Indonesia bakal mengalami resesi dan masa pemulihan perekonomian akan makin panjang.

Pasalnya anggaran yang dibutuhkan untuk mengungkit ekonomi di tahun depan kian sulit didapat karena kantong pajak akan makin kempes akibat mandeknya berbagai aktivitas perekonomian.

“Risikonya dunia usaha tidak bisa bertahan. Kalau terlalu banyak yang kolaps duluan, justru kita jatuh ke jurang krisis. Pemulihan ekonominya bisa mundur lagi,” ucapnya.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan opsi pembiayaan melalui utang memang masih terbuka jika pemerintah menghadapi krisis berkepanjangan-gagal masuk fase pemulihan ekonomi pada akhir 2020 dan awal 2021.

Tapi hal ini juga sukar dilakukan karena pemerintah punya rambu-rambu untuk menurunkan defisit secara gradual ke bawah 3 persen setelah 2022. “Memang fiskal defisit kita akan masih tinggi di tahun depan, artinya masih ada resiko penerimaan pajak belum optimal,” tutur Josua.

Menurutnya peluang pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional berada di kuartal III dan IV di tahun ini. Karena itu penting bagi pemerintah untuk memaksimalkan alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional di tahun ini. Salah satunya, pada pos perlindungan sosial yang pagu anggarannya mencapai Rp203,9 triliun.

Sayangnya Josua melihat realisasi anggaran pada pos tersebut baru mencapai Rp72,5 triliun atau 35,6 persen pada semester I 2020. Padahal kecepatan realisasi anggaran bantuan sosial hingga diskon tarif listrik dalam pos tersebut adalah kunci untuk menggerakkan ekonomi terutama dari sisi permintaan.

“Pos-pos anggaran yang disiapkan untuk jaring pengaman sosial harus dipercepat penyerapan, apalagi pembiayaannya ini pakai hutang jangan sampai sia-sia,” tegasnya.

Di samping itu, lanjut Josua, pemerintah juga perlu mempercepat insentif serta stimulus bagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Seperti diketahui UMKM berkontribusi signifikan terhadap PDB serta penyediaan lapangan kerja.

Mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM , pada 2018 sumbangan UMKM terhadap PDB mencapai 61,07 persen. Sementara dari sisi ketenagakerjaan, UMKM menyediakan hingga 99 persen dari total lapangan kerja dan menyerap hingga 97 persen dari total tenaga kerja.

Dengan kontribusinya yang besar, UMKM juga dapat mengantisipasi dampak buruk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama masa pandemi Covid-19.

Seperti diketahui, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memperkirakan jumlah pengangguran akan mencapai 10,7 juta sampai 12,7 juta orang pada 2021. Menurut Josua, jutaan pengangguran baru ini akan menekan daya beli masyarakat.

“Kalau pengangguran ini enggak teratasi bahaya. Daya beli masyarakat yang kuat sangat penting untuk menjaga konsumsi rumah tangga yang kontribusinya mencapai 55 persen terhadap pertumbuhan ekonomi, ” pungkasnya.

Sumber: CNNIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only