Laporan Jadi Bulanan, DJP Pantau Akurasi Pemanfaatan Insentif Pajak

Pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor dan pengurangan 30% angsuran PPh Pasal 25 berubah dari sebelumnya kuartalan menjadi bulanan. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (21/7/2020).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan sesuai PMK 86/2020, perubahan waktu pelaporan berlaku untuk pemanfaatan insentif mulai masa pajak Juli 2020 (yang dilaporkan paling lambat 20 Agustus 2020). Perubahan dibutuhkan untuk evaluasi efektivitas pemberian insentif pada masa pandemi.

“Untuk pelaporannya dapat dilaporkan setiap bulan karena ini sangat diperlukan pada waktu kita melakukan evaluasi. Bagaimana pemanfaatan insentif ini dan efek insentif ini pada keberlangsungan perusahaan,” ujar Suryo.

Dalam Pasal 16 PMK 86/2020 ditegaskan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas pembebasan PPh pasal 22 impor dan pengurangan 30% angsuran PPh pasal 25 untuk masa pajak April 2020 hingga masa pajak Juni 2020 tetap dilaksanakan sesuai dengan PMK 44/2020.

Selain perubahan periode pelaporan realisasi pemanfaatan kedua insentif pajak tersebut, ada pula bahasan mengenai pemajakan atas ekonomi digital yang menjadi salah satu perhatian dalam pertemuan G20 secara virtual pada akhir pekan lalu.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Pemantauan Tiap Bulan
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas ingin agar akurasi dan kecepatan realisasi pemanfaatannya bisa terpantau dari bulan ke bulan. Simak artikel ‘Tidak Kuartalan Lagi, Lapor Diskon Angsuran PPh Pasal 25 Tiap Bulan’.

“Kami ingin agar hanya wajib pajak yang berhak, yang memang benar-benar memanfaatkan insentif pajak yang telah disediakan oleh pemerintah,” ujar Hestu.

Meski frekuensi pelaporan meningkat dari setiap kuartal menjadi setiap bulan, Hestu menjamin wajib pajak tidak akan kesulitan. Adanya sistem online yang telah dikembangkan DJP akan mempermudah wajib pajak dalam menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan insentif.

AS Tidak Terima
Dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara G20 pada akhir pekan lalu, ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, semua negara berharap pada basis pemajakan baru dari ekonomi digital. Apalagi pada masa pandemi, aktivitas ekonomi digital meningkat.

Namun, hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai prinsip-prinsip pemajakan meskipun OECD telah menyampaikan dua pilar sebagai pendekatan. Dia menyampaikan pembahasan masih harus dilakukan. Simak artikel ‘Pajak Digital Jadi Bahasan Forum G20, Ini Penjelasan Sri Mulyani’.

“Tadinya pada bulan Juli sudah ada kesepakatan. Namun, AS melakukan langkah untuk tidak menerima dulu sehingga sekarang perlu upaya tambahan agar kedua pilar itu setujui,” kata Sri Mulyani. (Kontan/Bisnis Indonesia/DDTCNews)

Komentar Tertulis
Pemerintah Indonesia mengirimkan komentar tertulis atas inisiasi investigasi United States Trade Representative (USTR) terhadap pajak transaksi elektronik (PTE) yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020.

Dalam komentar tertulis itu, pemerintah menyatakan tetap berkomitmen untuk mendukung tercapainya konsensus global atas pemajakan ekonomi digital baik pada Pilar 1 Unified Approach maupun Pilar 2 Global Anti-Base Erosion (GloBE) meskipun PTE masuk dalam UU No. 2/2020.

“Indonesia kembali menegaskan bahwa kami tetap berkomitmen dalam perkembangan negosiasi konsensus global. Penerapan PTE nantinya akan tetap mempertimbangkan hasil dari konsensus global,” tulis Pemerintah Indonesia dalam komentar tertulis itu. (DDTCNews)

Berhenti Manfaatkan Insentif
Ditjen Pajak (DJP) memberikan dua opsi untuk wajib pajak yang ingin berhenti memanfaatkan insentif pajak yang disediakan selama masa pandemi Covid-19. Sebenarnya, dalam PMK 86/2020, tidak diatur secara spesifik mengenai prosedur penghentian pemanfaatan insentif pajak.

Pertama, langsung berhenti tanpa melakukan pemberitahuan kepada DJP. Untuk opsi pertama ini wajib pajak langsung membayar kewajiban pajaknya dengan rezim normal. Kedua, memberikan keterangan tertulis kepada kantor pajak terdaftar.

“Wajib pajak boleh saja memberitahukan kepada KPP melalui surat/tertulis agar tidak dimintai laporan pemanfaatan insentif yang dipersyaratkan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama. (DDTCNews)

Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Presiden Jokowi membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pembentukan ini ditandai dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2020.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk sebagai Ketua Komite. Menteri BUMN Erick Thohir ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Komite. Komite ini membawahi dua satuan tugas (Satgas), yaitu Satgas Penanganan Covid-19 dan Satgas PEN. (Kontan/Bisnis Indonesia/DDTCNews) (kaw)

Sumber : ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only