Hotel-Restoran Berpotensi Kehilangan Pendapatan Hingga Rp 85 T

JAKARTA, – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan sepanjang Januari-Juni 2020 hotel dan restoran berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 85 triliun. Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, menerangkan pandemi Covid-19 membuat 2.000 hotel dan 8.000 restoran tutup hingga masing-masing kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 40 triliun dan Rp 45 triliun.

Pada periode yang sama, devisa Indonesia juga berpotensi hilang sekitar US$ 6 miliar.

“Kami memperkirakan pajak hotel dan restoran secara year on year juga akan drop hingga lebih dari 80%,” ucap Hariyadi dalam Sedaring “Mid-Year Economic Outlook 2020”, Selasa (28/7).

Hariyadi yang juga Ketua Umum Perhimpunan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan bahwa pandemi Covid-19 juga membuat maskapai penerbangan dan tour operator mengalami kerugian masing-masing mencapai US$ 812 juta dan Rp 4 triliun.

Hariyadi merinci, tingkat hunian hotel di berbagai daerah per hari rata-rata tidak melebihi 15%. Di samping itu, pengusaha hotel masih dibebani oleh minimum charge biaya listrik dan gas. Meski kegiatan meetings, incentives, conferences, and exhibitions (MICE) dan pernikahan sudah mulai berjalan, kapasitasnya masih terbatas maksimal 50%.

Sementara itu, meski Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai diperlonggar, kunjungan masyarakat ke restoran juga masih rendah sehingga pengusaha restoran berfokus pada penjualan online. Hal itu tak lantas membuat penjualan restoran kembali seperti sebelum Covid-19. Pengusaha restoran di dalam mal pun kesulitan membayar sewa lokasi karena pengelola mal juga sedang sulit memotong biaya sewa.

Saat ini, kata Hariyadi, hampir 90% pengusaha hotel telah mengalami kerugian keuangan dan cadangan modal kerja telah habis, begitu pula pengusaha restoran. Para pengusaha sudah mulai merestrukturisasi utang usaha mereka. Hanya saja, untuk bank dengan likuiditas terbatas, proses restrukturisasi utang masih berjalan alot dengan bunga restrukturisasi dan fee yang relatif tinggi.

“Menyusutnya demand wisata saat ini antara lain disebabkan oleh penanganan Covid-19 yang tidak optimal di awal, sehingga kasus positif Covid-19 terus naik berkepanjangan. Kedua, kami sangat terpukul langsung dengan regulasi pemerintah yang membatasi kegiatan masyarakat sehingga pergerakan masyarakat langsung drop. Menurunnya daya beli masyarakat juga langsung membuat permintaan wisata menurun,” imbuh Hariyadi.

Menurut Hariyadi, permintaan masyarakat untuk berwisata akan meningkat ketikan penanganan Covid-19 sudah membaik. Karena itu, dia menilai penting bagi pemerintah untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat dengan mencegah kemunculan klaster baru penyebaran Covid-19. Di samping itu, pemerintah juga perlu segera merealisasi stimulus dan Bantuan Langsung Tunai (blt) kepada pelaku usaha dan masyarakat yang terdampak Covid-19.

“Selanjutnya, belanja operasional yang terkait perjalanan dinas, akomodasi, penyewaan ruang rapat, dan katering, ini juga akan secara langsung meningkatkan demand masyarakat. Bila memungkinkan, belanja modal pemerintah juga bisa dieksekusi,” tambah dia.

Selain itu, Hariyadi berharap pemerintah tidak menghapus rute penerbangan. Pasalnya, konektivitas menjadi salah satu yang memengaruhi permintaan masyarakat untuk berwisata.

Selanjutnya, dia mengatakan pengusaha dapat memanfaatkan big data dari Google Analytic untuk mengetahui produk apa yang masih dibutuhkan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Berdasarkan hasil riset dari Traveloka, lanjut Hariyadi, dalam enam bulan ke depan masyarakat akan mulai memiliki kepercayaan diri bahwa keadaan sudah aman dari Covid-19. Pada saat itu, dia berharap sektor pariwisata mulai berkembang lagi. Masyarakat Indonesia, menurut dia, punya kepercayaan diri yang besar dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang bisa jadi modal memulihkan perekonomian.

Untuk saat ini, menurut Hariyadi, pengusaha hotel dan restoran masih membutuhkan berbagai stimulus, antara lain relaksasi biaya listruk dan gas, Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Di samping itu, dia juga meminta supaya pemerintah mempercepat penyaluran BLT bagi asyarakat yang terdampak pandemi Covid-19, belanja operasional untuk perjalanan dinas, dan menjaga rute penerbangan maskapai.

Selanjutnya, dia berharap pemerintah mensubsidi pengusaha hotel dengan cara membeli 20% okupansi kamar per bulan, selama enam bulan.

“Ini dimaksudkan memang subsidi langsung supaya perusahaan bisa bertahan. Kami juga sudah menghitung terkait simulasi stimulus modal kerja. Berdasarkan perhitungan kami, seluruh hotel dan restoran Indonesia membutuhkan modal kerja Rp 21,3 triliun untuk enam bulan operasional,” ucap Hariyadi.

Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, memandang bahwa masih banyak kebijakan pemerintah yang belum menyesuaikan perubahan yang dibawa oleh pandemi Covid-19, termasuk di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Dia menilai pemerintah hanya mengubah sisi anggaran. Namun, menurutnya, perubahan tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan di setiap destinasi wisata.

“Setiap destinasi memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Jadi menurut saya pembuatan kebijakan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing destinasi wisata. Karena wisata banyak sekali sektor turunannya, jadi saya setuju kalau sektor ini dijadikan fokus pemerintah,” ucap Aviliani.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only