Tanda-Tanda Resesi yang Semakin Dekati RI

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2020 diprediksi terperosok cukup dalam akibat pandemi corona. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhannya berkisar minus 5,1% hingga minus 3,5%, dengan titik tengah minus 4,3%.

Prediksi angka ini cukup dalam mengingat pada triwulan sebelumnya pertumbuhan ekonomi masih positif sebesar 2,97%. “Kalau penanganannya efekfif dan berjalan seiring dengan pembukaan aktivitas ekonomi maka kondisi ekonomi bisa pulih pada kuartal III dengan positive growth 0,4%,” kata Sri Mulyani usai menghadiri rapat terbatas pada Selasa (28/7).

Badan Moneter Internasional atau IMF memprediksi angka pertumbuhan pada kuartal II-2020 terkontraksi hingga 3,1%. Perlambatan juga diramalkan terjadi pada triwulan berikutnya di angka minus 0,3%. Grafik Databoks di bawah ini menampilkan prediksi pertumbuhan ekonomi RI per kuartal 2020.

Prediksi angka minus pada dua kuartal berturut-turut itu membuat Indonesia di bawah bayang-bayang resesi. Ketidakpastian ekonomi semakin parah dengan penyebaran kasus positif Covid-19 masih berada di atas seribu kasus per harinya.

Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri pun berpendapat Indonesia akan masuk jurang resesi seperti negara dunia lainya. “Yang kita bisa lakukan adalah secepat mungkin recovery. Kalau resesi, sudah pasti,” katanya pada pekan lalu.

Krisis kali ini berbeda dengan sebelumnya maka formula baku tidak memadai untuk mengatasinya. Semua negara, menurut Faisal, melakukan penanganan dari mulai pelebaran defisit, meluncurkan paket stimulus, serta menurunkan suku bunga. Semua sektor pendorong ekonomi terkena dampaknya.

Tanda-Tanda Resesi Bayangi RI
Indikasi paling jelas resesi adalah pertumbuhan ekonomi yang angkanya minus dua kuartal berturut-turut. Menurut profesor Universitas Harvard Gregory Mankiw, ada lima indikator lainnya yang menunjukkan kondisi itu, yaitu ketidaksimbangan produksi dengan konsumsi, perlambatan pertumbuhan ekonomi, nilai impor melebihi ekspor, inflasi dan deflasi yang tinggi, serta tingkat pengangguran tinggi.

Indonesia mengalami angka pengangguran yang besar pada tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, jumlah pengangguran mencapai 6,88 juta orang. Angka ini belum ditambah 3,7 juta orang yang dirumahkan selama pandemi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Manoarfa sebelumnya menyebut total jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 10,7 juta orang.

Sinyal resesi juga semakin terdengar karena turunnya pendapatan masyarakat Indonesia. Penurunan ini dipicu oleh pembatasan sosial yang menghambat operasional berbagai pelaku usaha di tanah air.

BPS mencatat kelompok masyarakat berpendapatan paling rendah (Rp 1,8 juta per bulan) menjadi kalangan yang paling banyak mengalami penurunan pendapatan. Lebih dari 70% responden berpendapatan rendah mengaku mengalami penyusutan pendapatan di masa pandemi Covid-19.

Kondisi ini memiliki implikasi pada penurunan daya beli masyarakat. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Sarman Simanjorang menjelaskan, kelesuan yang berkepanjangan selama masa pandemi membuat arus kas pengusaha semakin terpuruk. “Tidak tertutup kemungkinan angka PHK (peutusan hubungan kerja) dan dirumahkan semakin meningkat,” kata Sarman.

Pemerintah Indonesia terus mengupayakan penyaluran bantuan sosial (Bansos) untuk memantik kembali roda perekonomian masyarakat. Jumlah penerima bantuan naik dari 20 juta menjadi 29 juta orang. Alokasi dananya mencapai Rp 203,9 triliun.

Bantuan juga diberikan bagi pelaku usaha dengan memberikan penurunan pajak Penghasilan Badan (PPh) dari 25% menjadi 22%. Dana stimulus juga dikucurkan pemerintah sebanyak Rp 123,46 triliun untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Dari segi impor dan ekspor, kondisinya masih menunjukan tren positif. Menilik data perkembangan ekspor-impor bulan Juni dari BPS, nilai ekspor mampu tumbuh sebesar 2,28% menjadi US$ 12,03 miliar. Di sisi lain, Indonesia mampu menekan nilai impor sebesar 6,36% menjadi US$ 10,76 miliar. Pertumbuhan ekspor impor ini menjadi salah satu stimulus di tengah krisis.

Daftar Negara yang Sudah Resmi Masuk Resesi
Sementara Indonesia masih berupaya terhindar dari resesi, berbagai negara di dunia sudah masuk dalam resesi. Selama dua kuartal 2020, tercatat ada lima negara yang pertumbuhannya minus secara berturut-turut.

Amerika Serikat menyatakan diri telah masuk resesi pada pekan lalu. Pada kuartal lalu pertumbuhannya minus 32,9% untuk periode April sampai Juni 2020. Kontraksi ini jauh lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus 5%.

Jerman secara resmi mengumumkan resesi. Mengutip dari Reuters, pertumbuhan ekonominya pada triwulan II-2020 minus 10%, angka terburuk sepanjang sejarah. Padahal kuartal sebelumya telah minus 2,2%.

Memasuki akhir kuartal II-2020, Singapura mengumumkan negaranya mengalami resesi. Pertumbuhan ekonominya di kuartal II 2020 terkontraksi hingga 41,2%. Sementara itu, pertumbuhannya di kuartal I berada di angka minus 0,7%.

Bank Of Korea (BOK) menyatakan Korea Selatan pun kondisinya serupa. Pada kuartal II-2020 Negeri Ginseng tidak mampu menunjukan peningkatan dan mendarat di angka minus 3,3%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi negeri ginseng di kuartal I-2020 terkontraksi 1,3%.

Yang terbaru adalah Uni Eropa. Kinerja perekonomiannya pada triwulan kedua tahun ini terkontraksi hingga 11,9%. Hasil ini mengikuti pertumbuhan minus di kuartal I-2020 sebesar 3,2%. Padahal, Uni Eropa telah coba meredam resesi dengan stimulus raksasa senilai 750 miliar euro yang disepakati 27 anggota anggotanya pada Juli silam.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only