SKK Migas Sambut Baik Pembebasan PPN atas Penjualan LNG

Pemerintah kembali memberikan insentif fiskal bagi pelaku industri hulu migas. Insentif tersebut berupa pembebasan pajak pertambahan nilai atau PPN atas penjualan gas alam cair atau LNG.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas menyambut baik intensif tersebut. Adapun kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Beleid itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Agustus 2020. “Aturan itu menjadi angin segar bagi produsen, penjual, dan pembeli LNG domestik,” kata Juru Bicara SKK Migas Susana Kurniasih dalam siaran pers pada Rabu (2/9).

Dia menjelaskan aturan pajak penjualan LNG sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN). Dalam aturan tersebut, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena semua penyerahan yang dilaksanakan merupakan non barang kena pajak (BKP).

Namun, terbit Putusan Mahkamah Agung (MA) pada 2018 yang merupakan hasil judicial review yang diajukan oleh PT Donggi Senoro. Keputusan tersebut menyatakan LNG berubah menjadi BKP yang dikenai PPN. “Para pelaku kegiatan usaha hulu migas sangat menyoroti dampak Putusan MA ini,” katanya.

Dampaknya yang ditimbulkan dari Putusan MA tersebut di antaranya, KKKS sebagai pihak yang menyerahkan LNG wajib dikukuhkan sebagai PKP. Hal itu berpotensi mengganggu mekanisme pengembalian PPN yang seharusnya berlaku sesuai kontrak.

Selain itu, terdapat kendala saat kontrak jual beli LNG yang tengah berjalan dan belum memasukkan unsur PPN dalam komponen harga kontrak. Beban tambahan PPN tersebut dapat menjadi perkara komersial antara kedua belah pihak.

Dampak lainnya yaitu potensi kenaikkan subsidi atau tarif listrik. Pasalnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN merupakan salah satu pihak Pembeli LNG yang harus menanggung biaya tambahan 10 persen PPN.

“Terbitnya PP yang baru memberikan kepastian hukum dan meminimalisir dampak negatif yang dapat timbul bagi pemerintah,” ujar Susana.

Aturan ini, kata dia, menjadi bukti koordinasi yang baik antara SKK Migas, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan untuk mencari solusi atas permasalah yang ada. Sebelumnya, pemerintah telah memberi insentif berupa penundaaan pembayaran dana cadangan pascatambang atau abandonment site restoration (ASR). Insentif itu diperuntukkan bagi KKKS yang kesulitan cash flow selama pandemi corona.

Selain insentif tersebut, pemerintah setuju mengurangi PBB migas dan pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor untuk wilayah kerja eksploitasi dan wilayah kerja produksi komersial kontrak gross split. Pemerintah juga memberikan stimulus berupa harga diskon untuk gas yang dijual dalam volume take or pay (TOP) atau daily contract quantity (DCQ).

Sedangkan insentif terkait revisi domestic market obligation atau DMO untuk masing-masing wilayah kerja telah diusulkan kepada pemerintah untuk dinilai tingkat keekonomiannya. Selain itu, SKK MIgas juga mengkaji tax holiday untuk masing-masing blok migas dengan pemerintah.

Pemberian tax holiday akan disesuaikan dengan tingkat keekonomian tiap lapangan migas. Ada juga pembahasan mengeni insentif biaya sewa barang milik pemerintah.

Kemudian, rencana pemberian insentif berupa penghapusan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak. Selain menjadi insentif bagi kontraktor, penghapusan biaya kilang menjadi upaya menurunkan harga gas industri menjadi US$ 6 per MMBTU.

Sumber: Katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only