JAKARTA. Produsen pertambangan batubara tak lantas bergembira dengan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski kelak mendapatkan sejumlah kelonggaran dari kewajiban royalti, pemerintah akan menetapkan komoditas batubara menjadi barang kena pajak (BKP).
Sebelumnya, mengacu Pasal 4A Ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tahun 1984 menyebutkan, batubara yang belum diproses menjadi briket batubara tidak dikenai PPN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, dalam UU Cipta Kerja, batubara ditetapkan sebagai barang kena pajak. “Oleh karena itu, batubara menjadi subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN),” ungkap dia saat konfrensi pers UU Cipta Kerja, Rabu (7/10).
Pasal 4A ayat (2) UU Cipta Kerja klaster Perpajakan menyebutkan, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang antara lain hasil pertambangan atau hasil pengeboran minyak yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara. Adapun penjelasan Pasal 4A menyebutkan, komoditas batubara yang bukan barang kena pajak dan tidak terkena PPN adalah batubara sebelum diproses menjadi briket batubara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menyatakan masih mengkaji detail omnibus law tersebut. Sebab, pada dasarnya perlakuan pajak pertambangan di setiap perusahaan batubara itu berbeda-beda. “Antara PKP2B generasi 1, 2 dan 3 beda semua. Begitu pula pajak di pemegang IUP,” kata dia, kemarin.
Namun Hendra menduga perubahan aturan di UU Cipta Kerja agar kewajiban pajak khususnya PKP2B akan lebih besar sesuai amanat UU Minerba. ” Jadi kalau perpanjangan PKP2B dilakukan, maka perlu dipastikan agar penerimaan negara dalam perpajakan lebih besar,” kata dia.
Bukan hal baru
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Asociation (IMA), Djoko Widajatno menyatakan, pengenaan barang kena pajak di sektor batubara bukan hal baru. “Sudah ada PPN, PPh. Pajak badan pun ada,” kata dia, Rabu (7/10).
Djoko menyampaikan, besaran pajak batubara terdapat dalam kontrak kerja. Contohnya, perusahaan wajib menyetor sekian persen berupa pajak dalam kontrak. “Di UU Minerba yang baru (UU No 3/2020) juga disebutkan soal PPN,” ucap dia.
Industri menilai pengenaan barang kena pajak bukan hal baru di sektor batubara.
Oleh karena itu, pihaknya menanti aturan turunan UU Cipta Kerja atau UU Minerba seperti Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah memang sedang menyiapkan PP Minerba, di antaranya terkait dengan perpanjangan izin operasi dan perpajakan.
Hal yang terpenting, dengan adanya UU Cipta Kerja, meski kewenangan pusat lebih dominan dari daerah, Djoko meminta tetap ada kelonggaran seperti di daerah. “Karena orang-orang lebih senang minta izin di daerah dulu. Jika di pusat kan begitu mau dijual, jumlahnya sudah ditarik pajaknya duluan,” kata dia.
Produsen batubara juga mendapatkan sejumlah kelonggaran. Pasal 128A UU Cipta Kerja menyebutkan, produsen batubara akan mendapatkan insentif berupa pengenaan royalti 0% atau terbebas dari royalti. Hal itu apabila produsen mengembangkan nilai tambah batubara.
Dalam Rancangan PP Minerba yang tengah disusu, di pasal 116 beleid itu disebutkan, peningkatan nilai tambah yang dimaksud adalah pengembangan batubara kokas, pencairan batubara, gasifikasi batubara (coal gasification) hingga underground gasification hingga pengembangan PLTU Mulut Tambang.
Sumber: Harian Kontan
Leave a Reply