Ragam siasat industri komponen bertahan saat wabah. Efisiensi pekerja mencari dana talangan ke bank sampai utang pajak ke negara.
Akhir tahun 2020 kurang dari 100 hari lagi, namun Tri Sukamto, Direktur Utama PT Bimuda Karya Teknik, salah satu perusahaan komponen di Tegal, Jawa Tengah belum mendapatkan tanda-tanda kenaikan pesanan komponen dari perusahaan perakitan mobil. Yang terjadi justru sebaliknya, memasuki Oktober, pesanan komponen kembali melambat, setelah mengalami kenaikan tipis di bulan Agustus dan September atau pasca penetapan era new normal.
Entah kapan kondisi macam ini selesai, Tri juga tak paham. Yang pasti, sejak wabah coronavirus disease (covid-19) menyapa Indonesia, terjadi penurunan pesanan komponen secara signifikan. Penurunan terdalam terjadi di bulan Mei, dimana pesanan hanya 10% dari pesanan di kala normal. Adapun di bulan September, pesanan hanya 50% itupun terbantu pesanan komponen untuk kendaraan bermotor roda dua.
Berat, itulah yang menjadi keluhan Tri. Berbagai usaha kini ia lakukan agar bisa mencari modal agar tetap bisa menjalankan usahanya. Sejak April lalu, Tri sudah melakukan upaya efisiensi mulai dari operasional pabrik terutama listrik dan lain-lainnya. Memasuki Mei, Tri mulai mengambil langka efisiensi tenaga kerja dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada hampir setengah tenaga kerjanya. “Dulu 25 orang yang bekerja di pabrik, sekarang tinggal 13 orang, itupun kerja gantian,” kata Tri.
Tak mudah melakukan PHK, Tri tetap membayar tanggungjawabnya termasuk tunjangan hari raya (THR) kepada pekerja yang di PHK tersebut. Otomatis, cash flow yang seharusnya bisa diputar untuk memproduksi kompomnen terpakai untuk membayar pesangon dan operasional. “Pesanan turun, pengeluaran besar,” kata Tri.
Usai lakukan PHK, ternyata masalah belum selesai. Tri harus mencari dana segar untuk membeli bahan baku atau material. Ini terjadi karena perusahaan pemasok material mulai enggan memberikan utangan atau bayar dibelakang. “Mungkin karena banyak yang menunggak,” kata Tri.
Beruntung ada kebijakan new normal, di mana kegiatan industri mulai dilonggarkan dan pabrik mobil sudah bisa beroperasi. Tri memberanikan diri mencari dana talangan agar bisa beroperasi dan membeli bahan baku. “Pesanan datang di Juli, Agustus dan September tapi turun jauh dan tak imbang dengan operasional,” jelasnya.
Kondisi keuangan yang semakin sulit membuat sebagian perusahaan komponen di Tegal tutup. Adapun yang bertahan melakukan berbagai cara termasuk mengajukan pinjaman atau menambah pinjaman ke bank. Namun, banyak yang kesulitan mengajukan pinjaman karena bank selektif mengucurkan kredit. “Istri saya juga sedang berusaha mengajukan pinjaman untuk modal kerja, semoga bisa ke luar mas,” kata Tri berharap.
Potret Tri yang bertahan menjalankan bisnis komponen ini hampir merata terjadi di industri komponen di Indonesia. Wan Fauzi, Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kecil dan Menengah Komponen Otomotif (PIKKO) Indonesia bilang, banyak komponen yang mereka produksi tidak terserap oleh perusahaan perakitan mobil.
Di sisi lain, mereka harus membayar biaya tenaga kerja serta operasional pabrik yang terus berjalan. “Meski Agutus naik pesanan, tapi masih di bawah normal. Pesanan rata-rata ke industri di hanya 60% dari normal,” kata Wan.
Wan khawatir, jika kondisi ini berlangsung lama, akan banyak industri komponen gulung tikar atau menggant haluan. Efeknya tentu besar, karena tak mudah membangkitkan industri sudah tutup. Jika nanti pabrikan mobil kembali pulih, tentu mereka memilih impor dengan alasan tak ada di dalam negeri. “Masalah ini yang harus segera diantisipasi pemerintah,” kata Wan.
Kekhawatiran Wan juga pantas dimaklumi, mengingat kontribusi industri otomotif ke perekonomian bangsa terbilang cukup besar. Jika pasar otomotif kontraksi, otomatis akan berdampak besar ke ekosistem industrinya. Dari hitung-hitungan ekonomi, produk domestik bruto (PDB) yang dihasilkan sektor otomotif termasuk komponen mencapai 4,3% atau hampir senilai Rp 700 triliun.
Tak hanya terdampak ke perusahaan komponen menengah ke bawah saja, penurunan pendapatan juga tercermin dari perusahaan komponen besar seperti PT Astra Otoparts Tbk. Merujuk keterbukaan informasi, pendapatan emiten berkode saham AUTO ini turun 25,5% menjadi Rp 5,6 triliun di semester I 2020.
Kondisi sama juga terlihat dari kinerja emiten suku cadang otomotif PT Selamat Sempurna Tbk (SMSM) yang turun 17% menjadi Rp 1,46 triliun. Penurunan pendapatan karena turunnya ekspor dan penjualan dalam negeri. Dari sisi peruntukkan penjual untuk pabrikan maupun untuk replacement juga ikut turun. “Penurunan terbesar terasa di kuartal II,” kata Lidiana Widjojo, Corporate Secretary SMSM.
Merujuk data Kementerian Perindustrian, industri komponen otomotif di Indonesia memproduksi berupa; brakes system, chassis & body, clutch, drive axle, electrical part, engine, steering system, suspension, transmission, dan universal komponen. Jumlah pelaku industri komponen tercatat 1.500 perusahaan, yang terbagi dalam Tier 1, Tier 2 dan Tier 3 yang tersebar di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 240 perusahaan anggota Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) serta sekitar 122 perusahaan anggota Perkumpulan Industri Kecil dan Menengah Komponen Otomotif (PIKKO). Dari sisi tenaga kerja, industri komponen otomotif untuk roda empat saja menyerap sekitar 33.000 tenaga kerja langsung.
Insentif Otomotif
Melihat kondisi ini, pemerintah memang tidak diam. Sudah ada beberapa insentif yang dikeluarkan untuk industri termasuk di dalamnya otomotif. Bentuknya mulai dari pengurangan pajak penghasilan impor (PPh 22), pajak penghasilan (PPh 21), dan pajak perusahaan (PPh 25) di sektor industri tertentu selama 6 bulan. Namun kebijakan ini di anggap belum cukup menggairahkan pasar otomotif saat terjadi pandemi.
Maka itu, Kementerian Perindustrian mengajukan insentif tambahan khusus untuk otomotif, berupa pengurangan pajak penjualan mobil menjadi 0% ke Kementerian Keuangan. Tujuannya untuk mendorong pertumbuhan penjualan otomotif. Asal tahu saja, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memproyeksikan penjualan mobil tahun ini turun 40% ke kisaran 600.000 saja.
Penurunan penjualan dikhawatirkan berdampak ke mana-mana termasuk ke sektor komponen. Maka itulah, Kemperin menyusun skema pajak 0% agar penjualan mobil bisa naik dan rantai bisnis otomotif bergairah. “Kita tentu juga berharap sama, penurunan pajak itu diberlakukan,”jelas Tri.
Tri yang juga pengurus Koperasi Tegal Manufaktur Indonesia itu bilang, penurunan komponen di koperasi yang bisnisnya menjual bahan baku komponen itu. Sejak wabah corona terjadi, pesanan bahan baku turun sampai 70%. “Ini menandakan produksi komponen di Tegal juga bisa turun 70%,” katanya.
Terkait insentif tersebut, Wan Fauzi meminta pemerintah selektif jika ingin memberikan insentif untuk penjualan mobil baru. Pemberian keringanan pajak mobil baru sebaiknya diberikan untuk mobil yang punya tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tinggi seperti mobil low cost green car (LCGC) dan low multi purpose vehicle (LMPV). “Di luar itu sama saja pemerintah bantu importir ketimbang membantu kami,” katanya.
Wan juga meminta rencana pemberian insentif diberlakukan setahun bukan tiga bulan seperti yang direncanakan Kemperin. Dalam hitungan Wan, jika insentif hanya berlaku tiga bulan, itu berarti hanya untuk menghabiskan stok mobil milik Agen Pemilik Merek (APM) yang sekarang numpuk di gudang. “Insentif minimal setahun, agar efek dominonya bisa ke industri komponen,” jelas Wan.
Sumber: Tabloid Kontan
Leave a Reply