PPh Orang Pribadi dalam UU Cipta Kerja

PPh Orang Pribadi dalam UU Cipta Kerja
Alih-alih menjadi sebuah terobosan, penambahan ketentuan pada Pasal 4 UUPPh merupakan sebuah langkah mundur karena melanggar asas-asas perpajakan dan fungsi budgeter, serta fungsi mengatur dari pajak.

Ingar bingar pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja hampir tak menyentuh perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Diskusi di ruang publik cenderung terbangun pada ketentuan-ketentuan yang terbangun pada kluster-kluster ketenagakerjaan, lingkungan, dan pertanahan.

Bahkan, narasi yang dibangun pada kluster ketenagakerjaan tidak atau belum menyentuh Pasal 111 angka 2 UU Cipta Kerja/UUCK (versi 812 halaman) tentang perubahan Pasal 4 Ayat 1 UU tentang Pajak Penghasilan (UUPPh). Padahal, penambahan Ayat (1a), (1b), (1c), dan (1d) pada Pasal 4 UUPPh berkaitan langsung dengan aspek keadilan dalam pemungutan PPh atas orang pribadi, terutama pekerja domestik.

Pasal 4 Ayat (1a) UUPPh terkonsolidasi mengatur bahwa WNA yang telah jadi subyek pajak dalam negeri dapat dikecualikan dari pengenaan PPh selama empat tahun pertama jika memiliki keahlian tertentu. Pengecualian ini berlaku terhadap, salah satunya, penghasilan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan di Indonesia, yang dibayarkan pemberi kerja di luar Indonesia (Pasal 4 Ayat (1b) UUPPh terkonsolidasi).

Ingar bingar pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja hampir tak menyentuh perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Kriteria ”keahlian tertentu” akan ditentukan dengan atau berdasarkan Peraturan Menkeu (Pasal 4 Ayat (1d) UUPPh terkonsolidasi). Terakhir, Pasal 4 Ayat (1c) UUPPh terkonsolidasi mengatur bahwa WNA yang telah jadi subyek pajak dalam negeri Indonesia dapat memilih untuk dikenakan PPh dengan atau berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan negara tempat pembayar penghasilan berdomisili.

Ada lima permasalahan dari penambahan ayat-ayat ini. Pertama, pengaturan mengenai subyek pajak pada ketentuan yang mengatur tentang obyek pajak bertentangan dengan konsep pajak subyektif dari PPh. Sifat PPh yang subyektif ditandai dengan pengaturan mengenai subyek PPh sebelum obyek PPh. Artinya, jika seseorang atau badan tak masuk dalam kualifikasi sebagai subyek pajak, ia tak memenuhi unsur subyektif sehingga tidak perlu membaca ketentuan mengenai obyek PPh.

Alternatifnya, pengecualian pengenaan PPh bisa diatur pada Pasal 4 Ayat (3) UUPPh yang mengatur non-obyek PPh.

Kedua, pengecualian pengenaan PPh atas WNA yang bekerja di Indonesia dan memperoleh penghasilan dari luar Indonesia menciptakan reverse discrimination terhadap WNI yang bekerja di Indonesia dan memperoleh penghasilan dari luar Indonesia. Secara hipotetis, keadaan yang demikian muncul ketika warga negara dan subyek pajak dalam negeri Indonesia jadi karyawan atau orang yang memberikan jasa independen kepada subyek pajak luar negeri, baik melalui bentuk usaha tetap maupun tidak.

Jika dikaitkan dengan argumentasi kesetaraan perlakuan pajak (level playing field) antarpelaku usaha yang kerap didengungkan (misal, dalam konteks pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) dan bahkan Bea Meterai), kebijakan yang demikian akan menciptakan playing field yang tidak level.

Munculnya reverse discrimination juga menunjukkan bahwa hegemoni asas domisili dan sumber dalam pengenaan PPh telah terdobrak oleh asas nasionalitas, yang mengatur pemungutan PPh berdasarkan kewarganegaraan subyek pajak.

Ketiga, parameter ”keahlian tertentu” tak lazim digunakan untuk membedakan perlakuan PPh antara satu subyek PPh dan yang lainnya. Lebih jauh, pengaturan mengenai ”kriteria tertentu” juga didelegasikan kepada Menkeu sehingga mudah berubah dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Secara klasik, jumlah PPh yang terutang pada seorang subyek PPh (yang selanjutnya berubah jadi wajib pajak/WP) ditentukan berdasarkan kemampuan membayarnya (ability to pay). Manifestasi ability to pay antara lain dalam bentuk pengenaan tarif progresif dan lapisan penghasilan kena pajak, khususnya bagi subyek pajak orang pribadi dalam negeri.

Langkah mundur

Keempat, ketiadaan klausa subject to tax untuk penghasilan yang diterima dari luar negeri berpotensi menyebabkan non- taxation sehingga bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam base erosion and profits shifting (BEPS) project yang diprakarsai OECD.

Tanpa klausa ini, penghasilan yang dibayarkan pemberi kerja di luar negeri dapat menjadi non-obyek PPh, jika ketentuan unilateral (atau karena insentif pajak) negara domisili pemberi kerja tersebut menghendaki demikian. Jika negara domisili pekerja juga mengecualikan penghasilan itu dari obyek PPh, akan timbul non-taxation.

Kelima, sejalan dengan poin keempat, ketentuan Pasal 4 Ayat (1d) UUPPh terkonsolidasi berpotensi tak dapat memiliki daya laku. Konstruksi hukum pajak internasional dalam OECD Model Double Tax Convention on Income and Capital (OECD MC) menghendaki bahwa nexus untuk penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan ditentukan berdasarkan domisili pekerja dan tempat pekerjaan dilakukan. Hak pemajakan (taxing right) bagi negara tempat pemberi kerja berdomisili relatif tidak terlindungi oleh ketentuan Pasal 15 Ayat (2) OECD MC.

Artinya, dalam hal subyek pajak dalam negeri, WNI ataupun WNA, melakukan pekerjaan di Indonesia, hak pemungutan PPh atas penghasilan itu, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri, sepenuhnya dialokasikan ke Indonesia sebagai negara domisili dan tempat pekerjaan dilakukan.

Dengan demikian, dalam penerapan mekanisme check the box sebagaimana terdapat pada Pasal 4 Ayat (1c) UUPPh terkonsolidasi, subyek pajak dalam negeri WNA tak terinsentif untuk memilih pemungutan pajak berdasarkan ketentuan yang terdapat pada P3B antara Indonesia dan negara tempat pembayar penghasilan berdomisili.

Bahkan, ketentuan itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dikotomi pemberi kerja menjadi hirer dan user yang kerap digunakan dalam pajak internasional.

Akhirnya, sulit dibantah bahwa penambahan ketentuan Ayat (1a) sampai dengan (1d) pada Pasal 4 UUPPh memberikan insentif bagi tenaga kerja asing untuk mengisi labor market di Indonesia dan menciptakan iklim yang lebih kompetitif bagi tenaga kerja domestik. Jika dikaitkan dengan judul ”Cipta Kerja” yang disematkan pada UUCK, penambahan ketentuan pada Pasal 4 UUPPh menimbulkan skeptisisme tentang pihak yang dituju dari penciptaan lapangan kerja menurut UU tersebut.

Oleh karena itu, alih-alih menjadi sebuah terobosan, penambahan ketentuan pada Pasal 4 UUPPh merupakan sebuah langkah mundur karena melanggar asas-asas perpajakan dan fungsi budgeter, serta fungsi mengatur dari pajak.

Sumber : Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only