Ramai SP2DK di akhir tahun, begini kata pengamat pajak

JAKARTA. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatkan jika tahun-tahun sebelumnya aparat pajak kerap mendorong ‘ijon pajak’ lewat percepatan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 di akhir tahun ini, fiskus tampaknya mencoba untuk memacu realisasi penerimaan pajak lewat penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).   

Budi mengungkapkan, pihaknya menerima banyak informasi dari wajib pajak yang mengaku telah mendapat SP2DK dari aparat pajak. “SP2DK tersebut mempertanyakan pemenuhan kewajiban perpajakan dari wajib pajak di tahun-tahun sebelum terjadi pandemi Covid-19,” katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (29/11). 

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memang berwenang menerbitkan SP2DK sepanjang masih belum melampaui daluwarsa penetapan pajak paling lama 5 tahun setelah saat terutang pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak. Menurut Prianto, SP2DK yang dikirim fiskus memang mempersoalkan kepatuhan wajib pajak di tahun pajak 2016-2019.

SP2DK sendiri adalah surat yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi wajib pajak. “Penerbitan SP2DK sejatinya merupakan bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan berbasis risiko atau Compliance Risk Management (CRM),” kata dia.

Namun, menurutnya meski merupakan kewenangan aparat pajak, penerbitan SP2DK tetap harus mengacu pada ketentuan atau peraturan yang berlaku. Misalnya, penerbitan SP2DK seharusnya berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis atas data/keterangan yang dimiliki aparat pajak. “Intinya data matching,” kata Prianto. 

Sebab, aparat pajak memiliki data atau keterangan yang berujung dugaan belum terpenuhinya kewajiban perpajakan, yang harus dikonfirmasi ke wajib pajak yang bersangkutan. 

Maknanya, SP2DK sejatinya tidak bisa diterbitkan tanpa ada penelitian atau analisis atas data/keterangan yang dimiliki aparat pajak. “Karena dari aspek psikologis, wajib pajak memang umumnya khawatir dengan penerbitan SP2DK,” ujar Prianto. Terlebih lagi, penerbitan SP2DK bisa saja disusul dengan permintaan penyampaian SPT, pembetulan SPT, atau bahkan pemeriksaan sebagai mekanisme pengujian kepatuhan wajib pajak. 

Dengan segala aspek tersebut, ditambah ramainya penerbitan SP2DK di akhir tahun ini, kondisi demikian bisa menimbulkan dugaan bahwa penerbitan SP2DK ditujukan untuk mengerek realisasi penerimaan pajak 2020, yang memang sedang tertekan akibat pertumbuhan ekonomi yang negatif. 

“Dengan kata lain, SP2DK menjadi semacam ‘langkah luar biasa’ untuk memacu realisasi penerimaan pajak di akhir tahun, yang dulu biasanya dilakukan dengan praktik ‘mengijon’ pajak,” kata Prianto.

Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyatakan melarang ‘ijon pajak’, dalam pelaksanaannya, praktik ini tetap saja berlangsung dari tahun ke tahun. Bukti nyatanya adalah Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2020 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkap adanya pembayaran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020 yang diakui sebagai penerimaan pajak tahun 2019.

BPK di dalam laporannya mendapati praktik itu dilakukan kepada 944 wajib pajak di 20 kantor wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak pada periode November hingga Desember 2019. Hasilnya, terjadi kenaikan pembayaran PPh Pasal 25 hingga 303,89% di periode tersebut. Menurut pemeriksaan BPK, peningkatan tersebut disebabkan wajib pajak telah membayar angsuran PPh Pasal 25 lebih dari satu kali. 

Pada 1-15 Desember 2019, wajib pajak membayar untuk masa pajak November 2019 yang jatuh tempo pembayarannya pada 15 Desember 2019. Ternyata, di akhir Desember, wajib pajak kembali melakukan pembayaran kedua dan ketiga, untuk masa pajak Desember 2019 dan masa pajak Januari 2020, yang seharusnya dibayarkan pada 15 Januari 2020 dan 15 Februari 2020.

Berdasarkan data Modul Penerimaan Negara (MPN), wajib pajak yang sudah membayar dua kali pada Desember 2019 tidak lagi membayar angsuran PPh Pasal 25 pada Januari dan Februari 2020. Hal tersebut, menurut BPK, mengindikasikan ada percepatan pembayaran PPh Pasal 25 yang berdampak pada total penerimaan pajak tahun 2019. 

Menurut Prianto, perbedaannya tahun ini aparat pajak tampaknya tak bisa lagi mengandalkan ‘ijon pajak’ lewat percepatan pembayaran PPh Pasal 25 lantaran penerimaan pajak yang anjlok akibat pertumbuhan ekonomi yang negatif. Realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2020 lalu merosot 18,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penurunan realisasi ini bahkan lebih dalam dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya yang sebesar 16,9%.

Sadar dengan kondisi wajib pajak yang masih sulit, informasi yang diperoleh Pratama-Kreston TRI, praktik ‘ijon pajak’ lewat percepatan pembayaran PPh Pasal 25 tahun ini kabarnya hanya berupa ‘imbauan’ untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Syaratnya, “Selama tidak mengganggu arus kas (cash flow) dan rasio keuangan dari perusahaan,” kata Prianto. 

Dari perspektif reformasi perpajakan, menurut Prianto, penurunan praktik ‘ijon pajak’ dan ramainya penerbitan SP2DK sesungguhnya merupakan sinyal yang positif, bahwa Ditjen Pajak memilih untuk mengejar realisasi penerimaan pajak lewat praktik yang memang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ditambah lagi, jika SP2DK diterbitkan karena limpahan data yang diperoleh Ditjen Pajak sebagai hasil dari pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau automatic exchange of information (AEoI). 

Di sisi lain, masih adanya ‘praktik luar biasa’ untuk menggenjot realisasi penerimaan di akhir tahun bermakna di saat wajib pajak seharusnya menikmati liburan akhir tahun, “Sewaktu-waktu bisa saja malah mendapat ‘surat cinta’ dari Ditjen Pajak,” ujar Prianto.   

Sumber : KONTAN.CO.ID, Minggu 29 November 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only