Mengejar Target Pajak di Akhir Tahun lewat Kiriman Surat SP2DK

Menjelang akhir tahun, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Penerbitan SP2DK ini merupakan salah satu upaya mengerek kenaikan pajak yang anjlok akibat pandemi corona. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan SP2DK ramai diterbitkan pada akhir tahun ini. SP2DK tersebut mempertanyakan pemenuhan kewajiban perpajakan dari wajib pajak di tahun-tahun sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Sehingga, dia menduga penerbitan SP2DK ditujukan untuk mengerek realisasi penerimaan pajak 2020 yang memang sedang tertekan akibat pertumbuhan ekonomi yang negatif.

“SP2DK menjadi semacam ‘langkah luar biasa’ untuk memacu realisasi penerimaan pajak di akhir tahun, yang dulu biasanya dilakukan dengan praktik ‘mengijon’ pajak,” kata Prianto dalam siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Senin (30/11).

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan penerbitan SP2DK merupakan hal rutin. “Jadi bukan hanya diterbitkan pada akhir tahun, tapi juga pada awal tahun atau tengah tahun,” kata Hestu kepada Katadata.co.id, Senin (30/11).

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-39/PJ/2015, SP2DK adalah surat yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Hestu menyebutkan pihaknya akan mengklarifikasi data yang tidak sesuai dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dengan SP2DK. Namun, WP dapat mengklarifikasi kembali data-data tersebut apabila kewajiban pajaknya sudah dipenuhi dengan benar.

Maka dari itu, ia berharap WP bisa kooperatif dalam merespons dan mengklarifikasi SP2DK tersebut. “Kalau pelaporan WP sudah sesuai, tidak ada masalah. Kalau memang masih ada kewajiban pajak yang harus dibayar, segera saja dilakukan pembetulan SPT,” ujarnya.

Praktik Ijon Pajak

Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah kerap menggenjot realisasi penerimaan pajak melalui metode ijon pajak lewat percepatan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29. Istilah ijon pajak diambil dari istilah pertanian yang berarti mengambil atau menjual hasil pertanian yang belum matang. Dalam perpajakan istilah tersebut berarti memungut pajak di periode selanjutnya untuk menambal periode sekarang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah melarang ijon pajak dalam kepemimpinannya. Meski begitu, Prianto menyebut praktik tersebut tetap saja berlangsung dari tahun ke tahun. Bukti nyatanya adalah Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2020 Badan Pemeriksa Keuangan yang mengungkap adanya pembayaran PPh Pasal 25 untuk tahun pajak 2020 yang diakui sebagai penerimaan pajak tahun 2019.

Dalam laporannya, BPK mendapatkan praktik itu dilakukan kepada 944 WP di 20 kantor wilayah DJP pada periode November hingga Desember 2019. Hasilnya, terjadi kenaikan pembayaran PPh Pasal 25 hingga 303,89% pada periode tersebut.

Menurut pemeriksaan BPK, peningkatan tersebut disebabkan WP telah membayar angsuran PPh Pasal 25 lebih dari satu kali.

Pada 1-15 Desember 2019, WP membayar untuk masa pajak November 2019 yang jatuh tempo pembayarannya pada 15 Desember 2019. Ternyata, di akhir Desember wajib pajak kembali melakukan pembayaran kedua dan ketiga untuk masa pajak Desember 2019 dan masa pajak Januari 2020 yang seharusnya dibayarkan pada 15 Januari 2020 dan 15 Februari 2020.

Terbukti, berdasarkan data Modul Penerimaan Negara, WP yang sudah membayar dua kali pada Desember 2019 tidak lagi membayar angsuran PPh Pasal 25 pada Januari dan Februari 2020. Hal tersebut, menurut BPK, mengindikasikan adanya percepatan pembayaran PPh Pasal 25 yang berdampak pada total penerimaan pajak tahun 2019.

Perbedaannya, tahun ini aparat pajak tampaknya tak bisa lagi mengandalkan ijon pajak lewat percepatan pembayaran PPh Pasal 25. Prianto menuturkan bahwa hal tersebut lantaran penerimaan pajak anjlok akibat pertumbuhan ekonomi yang negatif seiring sulitnya dunia usaha karena pandemi.

Realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2020 lalu tercatat Rp 826,94 triliun, merosot 18,8% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp 1.018,44 triliun. Penurunan realisasi ini bahkan lebih dalam dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya yang sebesar 16,9%.

Prianto mengatakan praktik ijon pajak lewat percepatan pembayaran PPh Pasal 25 tahun ini dikabarkan hanya berupa imbauan untuk Badan Usaha Milik Negara. “Syaratnya, selama tidak mengganggu arus kas dan rasio keuangan dari perusahaan,” kata dia.

Sumber : Katadata.co.id, Senin 30 November 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only