Segambreng Insentif Energi Terbarukan Dinilai Masih Kurang

JAKARTA — Berbagai insentif diberikan pemerintah demi mendorong tercapainya target bauran energi 23% pada 2025 mendatang. Tapi, apakah insentif tersebut sudah cukup?

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020) mengatakan pemerintah memang telah memberikan sejumlah insentif fiskal untuk pengembangan energi baru terbarukan seperti pembebasan pajak melalui tax holiday sejak 2010.

Namun sayangnya, adanya sejumlah insentif tersebut tetap tidak berdampak pada peningkatan investasi di sektor energi baru terbarukan. Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya evaluasi terhadap efektivitas insentif yang diberikan tersebut.

Selain itu, menurutnya perlu adanya perbaikan regulasi untuk kepastian investasi pengembang, insentif finansial untuk memperbaiki kelayakan memperoleh pinjaman (bankability) dari suatu proyek, serta insentif lainnya agar harga listrik energi baru terbarukan menjadi terjangkau.

“Jadi, bicara menarik investasi, perlu insentif fiskal untuk bankability project dan insentif lainnya untuk berikan harga terjangkau,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (30/11/2020).

Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini ada beberapa insentif fiskal yang sedang dirancang pemerintah, misalnya rancangan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai harga energi baru terbarukan (EBT).

Di dalam rancangan Perpres ini ada insentif yang namanya feed-in tariff yang akan diterapkan bagi pembangkit EBT skala kecil di bawah 5 mega watt (MW). Menurutnya, ini adalah sebuah insentif yang menarik karena pengembang pembangkit skala kecil bisa dapat tarif yang fix dan berlaku selama masa kontrak.

“Kebijakan feed-in tariff ini sudah diterapkan hampir 20 tahun di banyak negara di dunia, cukup efektif menarik minat investasi. Dan beberapa negara tetangga kita juga pakai,” jelasnya.

Beberapa proyek EBT, imbuhnya, mungkin tidak dapat menerapkan feed-in tariff, namun keekonomian bisa diperbaiki apabila pemerintah memberikan instrumen pembiayaan. Misalnya, lanjutnya, pinjaman dengan bunga yang relatif rendah dari bunga kredit normal.

Menurutnya, instrumen pembiayaan itu cukup efektif dan bisa diberikan kepada pihak-pihak yang ingin mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

“Ada mungkin 70 juta pelanggan PLN yang rumah tangga dan kalau kami hitung, ada potensi untuk PLTS Atap itu mencapai 655 GW. Bicara EBT tidak harus investor yang besar-besar,” paparnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, rancangan Perpres mengenai harga listrik energi terbarukan sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dadan mengatakan, terdapat tiga formulasi harga listrik EBT. Pertama, melalui harga yang sudah ditetapkan yakni Feed in Tariff (FIT) secara bertahap, sehingga tidak ada proses bisnis melalui negosiasi.

Kedua, dengan opsi harga patokan tertinggi (HPT) untuk kapasitas-kapasitas listrik di atas 5 Mega Watt (MW). Ketiga, skema harga sesuai kesepakatan bersama antara pengembang dan PT PLN (Persero).

“Ada tiga kelompok harga listrik energi terbarukan, pertama adalah FIT, harganya sudah stay di situ. Kalau untuk sampai 5 MW, harganya ditetapkan langsung, jadi tidak ada negosiasi B2B (Business to Business) atau segala macam,” jelas Dadan saat melakukan rapat bersama Komisi VII DPR, Senin (16/11/2020).

“Kedua, ada opsi harga patokan tertinggi, ini untuk kapasitas-kapasitas yang agak besar di atas 5 MW. Terakhir, harga kesepakatan,” kata Dadan melanjutkan.

Skema rancangan harga listrik EBT tersebut akan berlaku untuk berbagai jenis pembangkit listrik, di antaranya pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga mikrohidro atau minihidro (PLTM/MH).

Senin, 30 November 2020

Sumber: CNBCIndonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only