Sri Mulyani: Banyak Rakyat Anggap Pajak Bentuk Penjajahan

Jakarta, – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, banyak masyarakat di Indonesia yang memandang pajak bukan lah suatu kewajiban. Bahkan pajak dianggap sebagai bentuk penjajahan.

“Banyak yang menganggap pajak adalah bukan kewajiban, beban dari negara yang tidak dihubungkan dengan kehadiran negara itu sendiri. Bahkan masih ada sebagian masyarakat kita menganggap pajak itu identik dengan penjajahan,” jelas Sri Mulyani saat menjadi pembicara di dalam acara yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara virtual, Kamis (3/12/2020).

Oleh karena itu, Sri Mulyani meminta kepada para pegawai yang bekerja di DJP untuk serius dalam memperluas basis pajak, untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak.

Iklim berusaha di Indonesia, lanjut Sri Mulyani harus diperbaiki dan pajak merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan iklim berusaha di dalam negeri. Apalagi dalam rangka mendorong kesetaraan berusaha, yang saat ini marak dilakukan secara digital.

DJP diminta oleh Sri Mulyani untuk bisa mengenakan pajak kepada penyedia jasa usaha digital yang membuka usahanya di Indonesia, tanpa terkecuali.

“Transaksi yang menggunakan digital alat elektronik menjadi sangat penting, untuk menciptakan apa yang disebut playing field. Juga dalam hal para penyedia platform bisa diberikan kewenangan pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas nama negara, yang kemudian diserahkan kepada negara (Indonesia),” jelas Sri Mulyani.

“Juga pengenaan pajak kepada subjek pajak luar negeri atas transaksi elektronik di Indonesia. Ini semuanya bertujuan agar perpajakan di Indonesia tetap mengikuti perubahan yangs angat dinamis di dunia, baik adany dampak Covid-19 maupun adanya revolusi teknologi,” kata Sri Mulyani melanjutkan.

Segala tantangan pemerintah dalam menarik pajak, menurut Sri Mulyani harus bisa ditangani dengan serius melalui DJP. Karena pada akhirnya, pajak bertujuan membangun Indonesia untuk memajukan kesejahteraan masyarakat secara luas.

“Saya berharap seluruh Direktorat Jenderal pajak ikut dalam berkontribusi mengedukasi, mensosialisasikan, dan bahkan dalam hal ini menularkan cara berpikir kritis, namun juga memiliki sistematika dari perpajakan, untuk secara betul-betul fundamental dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan politis,” pungkas Sri Mulyani.

Seperti diketahui, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hingga Oktober 2020 mengalami defisit Rp764,9 triliun. Salah satu penyebabnya karena penerimaan pajak yang anjlok hingga 18,8%. Defisit tersebut setara dengan 4,67% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini masih di bawah batas maksimal, yaitu Rp1.039,2 triliun atau 6,34%.

Sumber : CnbcIndonesia.com
Tgl : 3 Des 2020

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only