Menunggu Bunga Kredit Turun

Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,5% dalam Rapat Dewan Gubernur, Kamis (18/2). BI juga menurunkan suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 2,75% dan 4,25%. Dengan demikian, sudah enam kali Bank Sentral menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) sejak Januari tahun lalu di posisi 5%. Level BI-7DRR saat ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah.

Meski sesuai ekspektasi dan seirama dengan kebijakan dovish The Fed, keputusan BI kembali mengerek turun suku bunga acuan patut diapresiasi. Kecuali selaras dengan perkiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, penurunan BI-7DRR secara agresif menunjukkan bahwa BI tidak setengah-setengah dalam mendorong perekonomian nasional lewat kebijakan moneternya.

Apalagi Bank Sentral mengeluarkan dua kebijakan makroprudensial yang amat penting. Pertama, melonggarkan ketentuan uang muka (down payment/DP) kredit/pembiayaan kendaraan bermotor. Kedua, melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit atau pembiayaan properti.

Ketentuan DP kendaraan bermotor dilonggarkan menjadi minimal 0% untuk semua jenis kendaraaan bermotor baru. Sedangkan rasio LTV/FTV properti dilonggarkan menjadi maksimal 100% untuk semua jenis properti (rumah tapak, rumah susun, serta ruko/rukan). BI juga menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden.

Keputusan BI melonggarkan DP kendaraan bermotor merupakan jawaban atas langkah pemerintah memangkas pajak penjualan barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor berkapasitas mesin 1.500 cc ke bawah dengan kandungan lokal minimal 70%. Stimulus fiskal ini diterapkan pada Maret, Juni, dan September 2021 masing-masing sebesar 100%, 50%, dan 25%.

Langkah pemerintah dan BI memberikan stimulus kepada sektor otomotif dan properti sudah tepat. Pemangkasan PPnBM otomotif akan mendorong masyarakat menengah atas membeli mobil karena harganya turun. Pulihnya produksi dan penjualan mobil akan berdampak luas karena industri otomotif menyerap 1,5 juta tenaga kerja dan punya banyak industri pendukung.

Setali tiga uang, pelonggaran rasio LTV/FTV properti akan menumbuhkan permintaan (demand) properti di masyarakat menengah atas. Jika demand rumah tapak, rumah susun, ruko atau rukan tumbuh, sektor-sektor terkait bakal ikut tumbuh. Sektor properti punya 170 sektor ikutan dengan tenaga kerja langsung dan tak langsung sekitar 30 juta orang.

Paket kebijakan pemerintah dan BI di sektor otomotif dan properti akan semakin ‘nendang’ karena OJK menempuh kebijakan serupa. OJK merelaksasi ketentuan kredit dan pembiayaan, antara lain melalui penurunan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang dikaitkan dengan LTV ratio, profil risiko, dan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Kebjakan OJK berlaku bagi kendaraan bermotor, rumah tinggal, dan sektor kesehatan, baik di sektor perbankan maupun pembiayaan.

Kunci pemulihan ekonomi saat ini memang ada di masyarakat menengah atas. Roda ekonomi sulit bergerak karena mereka masih menahan belanja kebutuhan sekunder dan tersier. Pandemi Covid-19 membuat masyarakat menengah atas belum percaya diri untuk keluar rumah, berbelanja, dan berwisata. Mereka memilih menyimpan atau menginvestasikan dananya dibanding membelanjakannya.

Padahal, jika masyarakat menengah atas berbelanja kebutuhan sekunder dan tersier, seperti mobil dan rumah, efek domino bakal tercipta. Industri manufaktur menggeliat. Kredit bank yang mampat, bakal mengalir. Sektor riil bangkit. Masyarakat bawah yang saat ini hanya bisa bertahan hidup dari bantuan sosial (bansos), akan kembali bekerja. Daya beli meningkat, konsumsi naik, dan ekonomi bertumbuh.

Kita sepakat bahwa penurunan suku bungan acuan, pemangkasan PPnBM otomotif, serta pelonggaran DP kendaraan bermotor dan rasio LTV/FTV properti tidak akan serta-merta menggerakkan perekonomian. Masih butuh langkah-langkah lain agar sektor otomotif dan properti bergerak, yang pada gilirannya mampu memutar roda perekonomian.

Di sektor otomotif, pemangkasan PPnBM dan pelonggaran DP perlu diikuti relaksasi perpajakan di daerah, seperti pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama (BBN). Di sektor properti, pelonggaran rasio LTV/FTV mesti diikuti penurunan PPnBM, pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), PPh 22 (PPh super mewah), dan BBN.

Tak kalah penting, stimulus fiskal, moneter, dan keuangan juga harus didukung suku bunga yang lebih terjangkau. Apalah arti pelonggaran DP atau rasio LTV/FTV jika bunga kredit masih mahal? Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, masyarakat akan berpikir dua kali untuk membeli mobil secara kredit jika bunganya masih mencekik leher.

Faktanya, bunga kredit masih tinggi. Penurunan suku bunga acuan BI ternyata direspons lambat oleh perbankan. BI-7DRR tahun lalu menurun drastis 125 bps ke level 3,75%, namun suku bunga kredit cuma turun 83 bps ke posisi 9,70%. Pada 2020, di tengah penurunan suku bunga acuan dan deposito, suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan hanya turun 75 bps menjadi 10,11%. Alhasil, selisih (spread) SBDK dengan suku bunga acuan dan deposito satu bulan masih sangat lebar, 6,36% dan 5,84%.

Ironisnya, SBDK tertinggi justru dibukukan bank-bank BUMN, sebesar 10,79%, diikuti bank pembangunan daerah (BPD) 9,80%, bank umum swasta nasional (BUSN) 9,67%, dan kantor cabang bank asing (KCBA) 6,17%. Tak kalah memprihatinkan, para pelaku ekonomi akar rumput (grassroot) malah yang paling terimpit bunga kredit. SBDK kredit mikro masih tertinggi, 13,75%, diikuti kredit konsumsi non-kredit pemilikan rumah (KPR) 10,85%, kredit konsumsi KPR 9,70%, kredit ritel 9,68%, dan kredit korporasi 9,18%.

Itu sebabnya, kita mengetuk hati para bankir untuk segera merespons penurunan BI-7DRR dengan memangkas bunga kredit, demi memulihkan perekonomian. BI telah memompakan likuiditas (quantitative easing/QE) ke perbankan sebesar Rp 750,38 triliun. OJK telah merestrukturisasi kredit perbankan dan pembiayaan senilai total hampir Rp 1.200 triliun. Pemerintah telah menggelontorkan anggaran Rp 579,83 triliun tahun lalu, disusul tahun ini Rp 688,33 triliun, untuk program Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).

Begitu mahal biaya yang sudah dikeluarkan stakeholders bangsa ini. Sungguh menyedihkan jika upaya keras dan biaya yang amat besar itu tak berdampak signifikan terhadap pemulihan ekonomi nasional. Apalagi tahun lalu, saat kredit minus 2,4%, dana perbankan yang diinvestasikan di surat berharga negara (SBN) terus membesar, mencapai Rp 1.500 triliun. Lagi pula, jika ekonomi bangkit, bukankah seluruh sektor usaha, termasuk perbankan, juga akan menikmati hasilnya?

Sumber : Investor.id, Jumat, 19 Februari 2021 .

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only