Tegakkan Khitah Tax Holiday!

JAKARTA — Pemerintah tengah memutar otak untuk mencari solusi atas memblenya efek dari tax holiday menyusul minimnya komitmen untuk merealisasikan investasi. Hal ini makin menegaskan bahwa tax holiday sudah meleset dari khitahnya.

Fakta ini mengindikasikan bahwa insentif bukanlah faktor utama bagi investor untuk merealisasikan komitmen investasinya di Tanah Air.

Hal ini pun diakui oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Dia menjelaskan, pemerintah telah memberikan fasilitas tersebut kepada 85 perusahaan.

Akan tetapi, tercatat hanya tiga perusahaan yang mengeksekusi komitmen investasinya. “Negara sudah memberi izin, insentif dikasih, kemudian ekeskusinya belum. Kami akan berkoor-dinasi dengan pengusaha supaya tahu dan bisa dicari solusinya,” kata Bahlil, Rabu (24/2).

Data tersebut linier dengan catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, di mana total penerima fasilitas ini sejak 2018 mencapai 85 penanaman modal dan 82 wajib pajak.

Total rencana investasi yang telah masuk ke kantong otoritas penanaman modal mencapai Rp1.261,2 triliun dengan penyerapan tenaga kerja hingga 107.357 orang.

Sayangnya, investasi yang telah terealisasi sampai dengan 11 Oktober 2020 hanya tiga penanaman modal dan tiga wajib pajak. Nilai yang dicatatkan pun sangat cekak, yakni Rp27,15 triliun dengan serapan tenaga kerja hanya 345 orang.

Mengacu pada data dan fakta tersebut, Bahlil mengklaim telah mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian untuk bertindak lebih tegas.

Sikap tegas itu akan diaplikasikan melalui pencabutan fasilitas yang telah diterima oleh wajib pajak. “Kalau ada pengusaha yang [nakal] mohon maaf negara juga harus bertindak,” tegasnya.

Hanya saja, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan tidak memuat sanksi yang tegas mengenai hal ini.

Beleid itu hanya mengamanatkan agar wajib pajak penerima insentif merealisasikan rencana penanaman modal maksimal satu tahun setelah menerima fasilitas tax holiday.

Dengan kata lain, legalitas pemerintah untuk bertindak tegas bisa dilakukan sepanjang memiliki dasar hukum atau regulasi peng-ganti dari PMK No. 130/2020.

Terkait dengan hal ini, Bisnistelah meminta penjelasan kepada Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo. Menurutnya, pencabutan itu masih dalam tahap pembahasan.

Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan pemerintah akan melakukan aksi tegas dengan mempertimbangkan minimnya efek yang dihasilkan dari kebijakan tax holiday terhadap perekonomian.

“Ini kan bagian mitigasi risiko dan fairness. Idealnya pemberian insentif ada trade off dengan nilai tambah ekonomi. Itu logika tax holiday,” jelasnya.

Sementara itu, Ekonom Senior Indef Enny Sri Hartati mencatat, ada beberapa persoalan dalam kebijakan tax holiday, di antaranya standar baku, kriteria penerima, transparansi, akuntabilitas, dan formulasi.

Oleh sebab itu menurutnya tax holiday sudah sepatutnya dievaluasi. Apalagi, kebijakan ini berdampak pada pembengkakan belanja pajak atau tax expenditure.

“Kalau pemerintah mau memberi insentif, maka perusahaan yang diberikan insentif tersebut harus benar-benar punya kontribusi yang terukur terhadap perekonomian,” jelasnya.

Menurutnya, pemberian insentif harus jelas dan diperketat. Misalnya fasilitas hanya diberikan kepada sektor prioritas dengan potensi serapan tenaga kerja pada angka tertentu.

Dengan demikian, belanja pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu terkompensasi dengan mak-simal.

Sumber: Harian Bisnis Indonesia. Kamis, 25 Februari 2021.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only