Peluang Pembiayaan Infrastruktur di ASEAN

Sampai saat ini Indonesia masih mengalami kendala pembiayaan infrastruktur. Hal ini terjadi karena adanya krisis ekonomi dan diperparah dengan pandemi virus korona Covid-19.

Seperti tercermin dari alokasi anggaran pemerintah diberbagai negara, alokasi anggaran infrastruktur yang cenderung terus menurun jika kita meilihat dari prosentasenya terhadap produk domestik bruto (PDB). Akibatnya terjadi gap pembiayaan infrastruktur yang cukup besar.

Berdasarkan laporan The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) group, perkiraan kebutuhan dana infrastruktur Indonesia hingga tahun 2030 mendatang mencapai US$ 1.162 miliar. Namun anggaran yang tersedia diperkirakan hanya sekitar US$ 441 miliar. Dengan demikian terjadi gap US$ 721 miliar.

Kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lainnya, maka gap pembiayaan infrastruktur di Indonesia merupakan yang tertinggi. Sedangkan gap pendanaan infrastruktur di Filipina sebesar US$ 171 miliar, Vietnam US$ 160 miliar, Malaysia US$ 42 miliar, Thailand US$ 86 miliar.

Adapun satu-satunya negara anggota ASEAN yang mengalami surplus anggaran infrastruktur adalah Singapura. Negara ini mengalami surplus anggaran infrastruktur sebesar US$ 27 miliar.

Menghadapi gap pembiayaan yang cukup tinggi tersebut dan dalam kerangka integrasi regional, Indonesia sebagai co-chair pada ASEAN Working Committee on Capital Market Development (WC-CMD) pada periode 2020 2022 mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk kerjasama pembiayaan infrastruktur dan pembiayaan yang berkelanjutan.

Mewujudkan integrasi infrastruktur regional sangat penting mengingat keragaman geografis, ukuran, dan ekonomi kawasan. Negara-negara Asean membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan tujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi. Konsekuensinya, segala hal yang berkaitan dengan alur perdagangan, modal, dan sumber daya manusia lebih mudah beredar di kawasan ASEAN.

Terintegrasinya perekonomian ASEAN berdampak pada peningkatan kegiatan bisnis, yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada jual beli barang atau jasa, namun juga mencakup kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas batas negara.

Menurut UN Environment Programme & DBS (2017), peluang pembiayaan berkelanjutan diperkirakan mencapai US$ 3 triliun antara tahun 2016 dan 2030. Namun demikian, menurut UNESCAP, banyak negara di Asia Tenggara tidak memiliki mekanisme pembiayaan yang memadai.

Melihat tantangan ini, sektor keuangan harus bergerak lebih cepat untuk mendorong finance sustainability mendanai keberlanjutan. Sektor keuangan juga diharapkan sekaligus menjadi katalisator perubahan paradigma untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan.

Peluang dan tantangan

Dalam konteks kerjasama pembiayaan infrastruktur berkelanjutan terdapat beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama, kerjasama pembiayaan infrastruktur akan berjalan dengan baik apabila terdapat kesetaraan antar negara anggota ASEAN.

Setidaknya kesetaraan ini tercermin pada rating government bonds maupun corporate bonds. Perbedaan rating rating government bonds juga corporate bonds akan menyebabkan negara yang berada pada posisi lebih baik menjadi keberatan untuk melakukan kerjasama. Untuk itu harus ada upaya menyamakan persepsi menyangkut risiko tersebut.

Dalam sejarah jarang sekali kita menjumpai pemerintah mengalami gagal bayar seperti yang terjadi pada pemerintah Rusia pada tahun 1998. Pada saat itu Rusia mengalami krisis keuangan, walaupun hal ini sangat langka terjadi.

Namun obligasi pemerintah dapat mengandung risiko apabila diterbitkan oleh pemerintah suatu negara yang memiliki kapabilitas kebijakan finansial yang kurang baik. Untuk itu dalam rangka miminimalisasi risiko obligasi, berbagai pemerintahan pilih memberikan jaminan melalui asuransi terhadap obligasi yang mereka terbitkan.

Beberapa contoh negara yang sudah menggunakan asuransi sebagai penjaminan terhadap obligasi yang diterbitkan pemerintah maupun korporasi adalah Malaysia. Pemerintah memberikan penjaminan terhadap penerbitan Malaysian Government Securities (MGS). Mulai Desember 2006, Bank Negara Malaysia (BNM) memperkenalkan Callable MGS sebagai penjaminan kepada pemegang obligasi.

Di Singapura dan Amerika Serikat pemerintah menggunakan jasa asuransi monoline. Perusahaan asuransi monoline telah secara signifikan dan permanen mengubah pos lanskap pasar obligasi.

Di Indonesia sejak 2020, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) juga memperkenalkan produk credit guarantee facility (CGF). IIF ini merupakan suatu produk penjaminan obligasi pertama di Indonesia.

Kedua, tantangan terkait dengan pengaturan perpajakan atas obligasi. Dalam rangka mewujudkan komitmen kerjasama pembiayaan berkelanjutan di ASEAN, maka perlu ada pengaturan penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban pajak investor.

Pemerintah Indonesia saat ini telah memiliki P3B dengan hampir seluruh negara ASEAN+3, kecuali Kamboja dan Myanmar. Melalui P3B, pemerintah Indonesia dapat menyepakati total beban pajak yang menjadi tanggungan investor dan menentukan alokasi hak pemajakannya.

Dengan demikian, manfaat penurunan beban pajak yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia benar-benar dapat dirasakan oleh investor dan tidak dimanfaatkan oleh negara mitra.

Berdasarkan studi perbandingan di kawasan Uni Eropa, solusi P3B juga dilakukan untuk menurunkan beban perpajakan atas penghasilan dari investasi keuangan lintas negara.

Sebagai contoh di Belgia, P3B dengan negara mitra di Uni Eropa digunakan untuk menurunkan tarif yang harus ditanggung oleh investor untuk meningkatkan arus investasi dalam kawasan tersebut.

Ketiga, perlu adanya standar yang disepakati bersama tentang sustainable finance untuk memberikan panduan dan jaminan ke pasar terhadap label ‘berkelanjutan’. Asean Capital Market Forum (ACMF) telah menyediakan kategori proyek yang memenuhi syarat indikatif untuk penerbitan green bond. Namun saat ini negara-negara anggota Asean atau Asean Member States (AMS) belum mengeluarkan satupun yang bersifat nasional pembiayaan berkelanjutan.

Negara-negara anggota ASEAN yang telah memiliki daftar kategori proyek yang memenuhi syarat untuk pembiayaan hijau adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Negara-negara anggota ASEAN lain yang belum memiliki standar ini harus didorong untuk membuat aturan yang standar.

Sumber : Kontan.co.id, Selasa 16 Maret 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only