Kenaikan Harga Minyak Tak Dongkrak PPh Migas

Kenaikan harga minyak dunia malah membuat penerimaan PPh migas kuartal I terkontraksi.

JAKARTA. Penerimaan pajak di kuartal I-2021 minus 5,58% year on year (yoy). Salah satu penyebabnya kontraksi pada pajak penghasilan minyak dan gas bumi (PPh migas). Padahal harga minyak global tengah melesat kuartal I-2021.

Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN 2021 menunjukkan kalau realisasi penerimaan PPh migas sebesar Rp 7,91 triliun di periode Januari-Maret 2021. Angka tersebut kontraksi 23,49% year on year (yoy). Penerimaan PPh migas tersebut baru setara 17,28% dari target akhir tahun sebesar Rp 45,77 triliun.

Sementara itu, harga minyak global jenis brent misalnya hingga akhir kuartal I-2021 menguat 23,8% year to date (ytd). Bahkan naik 61% year on year (yoy). Adapun hingga akhir Maret harga minyak brent ditutup pada level US$ 63,54 per barel.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tidak menjelaskan lebih lanjut terkait kondisi penerimaan PPh migas yang kontraksi. Tetapi, Secara umum penerimaan total pajak kuartal I-2021 masih minus diakibatkan oleh pandemi virus korona.

Saat harga minyak dunia naik seharusnya dibarengi kenaikan ICP.

“Karena Maret 2020 itu baru ada Covid-19, sementara sepanjang kuartal I-2021 dan sekarang ini masih ada pandemi Covid-19,” kata Sri Mulyani saat Konferensin Pers Realisasi APBN pada pekan lalu.

Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho mengatakan seharusnya saat harga minyak global diiringi dengan kenaikan Indonesia Crude Price (ICP). Inilah yang membuat dirinya heran dengan realisasi penerimaan PPh migas yang masih kontraksi hingga dua digit.

Luthfi meramal ke depan harga minyak global masih akan terus tumbuh seiring dengan pemulihan ekonomi di China dan Amerika Serikat. Namun, Luthfi menyampaikan apabila tingkat kasus Covid-19 di India tetap tinggi, maka akan menjadi sentimen negatif atas penurunan harga migas.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menguraikan ada tiga kemungkinan terjadinya anomali antara kenaikan harga migas dan kontraksi pajak migas.

Pertama, korporasi tidak menjual menggunakan spot price atau harga terbaru. Sehingga tidak dapat menikmati kenaikan harga. “Biasanya korporasi menggunakan strategi hedging. Harga jual ditentukan di belakang untuk mengatasi risiko,” kata Fajry kepada KONTAN, Rabu (28/4).

Kedua, untuk kompensasi kerugian dari tahun sebelumnya karena pada pertengahan 2020 harga minyak sempat terpukul. Harga WTI malah sempat negatif di April 2020.

Ketiga, kemungkinan realisasi lifting perusahaan migas turun. Efek dari penerimaan PPh migas yang minus, target pajak 2021 sulit tercapai.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 29 April 2021 hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only