Pengamat: Menaikkan tarif PPN seperti makan buah simalakama

 JAKARTA. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan rencana pemerintah kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada tahun 2022 memunculkan situasi dilematis. 

Menurut dia jika tarif PPN naik, maka beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Namun, jika tarifnya tetap, beban bagi rakyat tetap, sedangkan kondisi keuangan negara dapat semakin mengkhawatirkan karena utang terus bertambah.

Di setiap perumusan kebijakan publik, menurut Prianto, termasuk kebijakan pajak berupa penetapan tarif PPN, kondisi tarik ulur kepentingan sering terjadi. Situasi sulit harus dihadapi pemerintah untuk memutuskan. Untuk itu, pemerintah harus dapat menyeimbangkan kepentingan pemerintah dan masyarakat yang sering kontradiktif.

Dengan asumsi bahwa kondisi keuangan masyarakat masih tetap bertahan akibat pandemi Covid-19, kenaikan tarif PPN akan menurunkan omzet penjualan. Selain itu, beban masyarakat akan bertambah. Sebaliknya, pemerintah membutuhkan pajak, selain utang, sebagai alternatif sumber pembiayaan negara.

Sebagai ilustrasi, dimisalkan dengan uang Rp 1.000, Badu dapat membeli 10 unit barang seharga Rp 100 tanpa PPN 10%. Jika ada pajak 10%, secara otomatis, maka Badu hanya bisa beli 9 unit barang dengan total harga Rp 90 plus PPN 9 untuk kas negara. Bila pajaknya naik menjadi 15%, Badu hanya mampu membeli 8 unit barang seharga Rp 80 plus PPN 12. 

Karena itu, Prianto menilai alasan pemerintah dengan kenaikan tarif PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara, itu hal yang sangat logis. Di saat yang sama, ketika pengusaha dan konsumen juga berteriak, itu juga sangat wajar. Masing-masing pihak punya kepentingan dan rasionalitas sendiri-sendiri atau bounded rationality.

“Untuk itu pemerintah harus membuka dialog dengan semua pemangku kepentingan agar terjadi kompromi, meski pemerintah memiliki kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan tarif melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ini diatur di Pasal 7 ayat (3) UU PPN, yaitu UU No. 8/1983 dengan perubahan terakhirnya melalui UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (23/5).

Sesuai ketentuan tersebut, tarif tertinggi PPN adalah 15%, sedangkan tarif terendahnya adalah 5%. Prinsipnya adalah tetap tarif tunggal. Perubahan tarif PPN tersebut harus diusulkan pemerintah kepada DPR melalui pembahasan dan penyusunan RAPBN. Dengan demikian, perubahan tarif PPN paling cepat akan terjadi di 2022. 

Ketika pemerintah menginginkan multitarif PPN, UU PPN yang baru diubah dengan UU Cipta Kerja harus diamandemen lagi, khususnya untuk Pasal 7. Pembahasan perubahan tidak dapat dilakukan melalui pembahasan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Penggunaan tarif tunggal 10% sesuai Pasal 7 ini memang tidak pernah berubah sejak pemberlakuan UU PPN pertama kali di 1984 (“UU PPN 1984),” kata Prianto.  

Pada akhirnya, apapun pilihan kebijakan tarif PPN sesuai diskusi antara pemerintah dan DPR secara umum tidak akan optimal. Pembahasan akan menghasilkan perdebatan dan tarik ulur seperti medan magnet (field theory) sebelum akhirnya tercapai titik temu berupa kompromi. 

Menurutnya, hasil kompromi biasanya tidak akan membuahkan keputusan yang optimal sesuai konsep the second best theory. Keputusan yang kompromistis merupakan pilihan terbaik kedua ketika pilihan terbaik pertama tidak dapat dicapai karena ada tarik menarik kepentingan.

Jadi, berdasarkan kondisi yang ada, ada dua pilihan kebijakan untuk tarif PPN saat ini. Pertama, bila tetap digunakan tarif tunggal, pembahasan dapat ditempuh melalui perumusan APBN 2022. Pilihan kompromistisnya ada di antara tarif 10% dan 15%, yaitu 12% atau 13%. 

Kedua, jika akan diterapkan multitarif, sesuai dengan UUD 1945, DPR bersama dengan Pemerintah harus membahas kembali amandemen UU PPN 1984 pasca-pengesahan UU Cipta Kerja di 2020. Untuk pilihan cepat, Pemerintah dapat kembali menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Sumber : KONTAN.CO.ID, Senin 24 Mei 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only