JAKARTA. Rencana pemerintah mempeluas objek pajak pertambahan nilai (PPN) dalam Rancangan Undang-Undang tetang perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terus menguar protes.
Ini lantaran komoditas dan jasa yang dipungut PPN bertambah panjang. Tak hanya bahan pokok dan komoditas tambang, pemerintah juga mengincar PPN dari sektor jasa. Dalam Pasal 4A revisi UU KUP, beberapa sektor jasa akan dihapus dari daftar objek non-Jasa Kena Pajak (JKP).
Salah satunya: jasa pendidikan. Untuk sekolah yang masuk kriteria sekolah mahal bakal kena PPN 12%. Sedang, sekolah negeri kena tarif 5%. Peincian tarif PPN sekolah atau jasa pendidikan berdasarkan jenisnya akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) bila beleid RUU KUP itu disahkan oleh DPR.
Tak hanya itu saja. Jika saat ini, jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, keuangan, hingga asuransi bebas dari PPN, dalam perencanaan aturan baru akan dipungut pajak.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryono Utomo sebelumnya menyebut, reformasi kebijakan PPN menyesuaikan kemampuan masyarakat membayar pajak atau ability to pay.
Pajak mengajukan opsi tarif rendah PPN dalm skema multi tarif untuk membedakan pungutan pajak untuk barang-barng kebutuhan pokok hingga barang luxurious alias mahal. Pun dengan sekolah antara swasta mahal dengan sekolah negeri.
Agar polemik tak berkelanjutan, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani minta, pemerintah segera melakukan sosialisasi rencana perluasan jasa kena PPN ini agar bisa mendapatkan masukan dan pengusahan mempersiapkan diri.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Golkar Mukhamad Misbakhun mengaku siap menolak recana pemerintah mengeruk penerimaan dari sektor jasa ini.
Mantan pegawai pajak ini menilai, masih banyak cara lain untuk mendongkrak penerimaan negara, selain dari pajak.
Misal, mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) minyak dan gas (migas) dengan cara meningkatkan tarif royalti, dengan tetap mempertimbangkan kondisi perekonomian 2022.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan, kebijakan peluasan jasa kena PPN ini efeknya besar karena menyangkut kebutuhan dan hajat hidup orang banyak.
Jika jasa pelayanan kesehatan dan pendidikan kena PPN, ia menduga bisa semakin memperlebar kesenjangan sosial. Pemerintah pelu mempertimbangkan peran sektor jasa ini terhadap produk domestik bruto (PDB) per kapita agar bisa mengukur tingkat daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono melihat, aturan baru ini bisa diimplementasikan nanti, seiring pemulihan ekonomi pasca pandemi serta saat konsumsi maupun daya beli masyarakat meningkat.
Ia minta kebijakan ini bersifat netral. Sekolah negeri dan swasta dikenakan PPPN atas pembayaran biaya pendidikan siswa. Tarif dibedakan, sekolah swasta berbiaya hingga Rp 300 juta setahun kena Pajak 12% sedang sekolah negeri 1% saja.
Sumber: Harian Kontan, Jumat 11 Juni 2021 hal 1
Leave a Reply