Bisnis Mengikuti Stimulus

Pemerintah melanjutkan kebijakan countercyclical untuk melawan resesi, dengan tetap mengucurkan stimulus pemulihan ekonomi nasional tahun depan. Langkah ini seiring dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit, hingga 2022. Demikian pula Bank Indonesia (BI) tahun depan masih menerapkan kebijakan makroekonomi yang akomodatif bagi stabilitas sistem keuangan (makroprudensial). Langkah ini untuk membantu perbankan mengoptimalkan penyaluran kredit dan berkontribusi lebih besar dalam menggerakkan perekonomian, yang terpukul pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu. Sejak pandemi tahun lalu, otoritas moneter telah menurunkan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate menjadi 3,50%, level terendah dalam sejarah. Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan penyesuaian suku bunga penjaminan, guna mendorong penyaluran kredit yang seret. Dukungan kebijakan fiskal yang bercorak countercyclical seperti program pemulihan ekonomi nasional (PEN) memang sangat dibutuhkan, setidaknya hingga tahun depan. Ibaratnya orang habis sakit sangat serius, tentu saja nggak bisa langsung lari, tapi masih harus diberi vitamin untuk membantu percepatan pemulihan. Artinya, stimulus fiskal tidak hanya dibutuhkan untuk menyelamatkan perekonomian pada masa resesi sejak kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021, namun juga saat pemulihan. Demikian pula dukungan stimulus moneter dengan kebijakan suku bunga rendah dan likuiditas longgar masih diperlukan untuk menopang akselerasi pemulihan ekonomi. Kebijakan OJK seperti restrukturisasi kredit yang sudah terbukti efektif menahan lonjakan non performing loan (NPL) sekaligus menjaga ketahanan sistem perbankan, juga sudah tepat dilanjutkan. Pasalnya, industri perbankan masih dihantui peningkatan risiko atas kredit yang disalurkan akibat pandemi Covid-19. Pandemi yang belum usai hingga tahun ini akan memberikan tekanan pada rasio loan at risk yang juga meningkat, yang bila tidak dimitigasi, akan menjadi kredit macet. Loan at risk ini merupakan indikator risiko atas kredit yang disalurkan, yang terdiri atas kredit kolektibilitas 1 yang telah direstrukturisasi, kolektibilitas 2 atau dalam perhatian khusus, serta kredit bermasalah atau non performing loan. Oleh karena itu, wajar jika para bankir mengapresiasi respons cepat OJK dalam merelaksasi kebijakan restrukturisasi kredit untuk membantu perbankan dan nasabah melewati masa-masa sulit. Apresiasi juga diberikan kepada pemerintah, yang memberikan stimulus yang dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Hal ini sesuai permintaan para pelaku usaha, mengingat di masa pandemi dukungan dari pemerintahlah yang masih bisa diharapkan untuk menggerakkan kembali ekonomi. Bila ditelusuri, membaiknya kondisi ekonomi belakangan juga tak lepas dari meningkatnya realisasi stimulus Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN). Sampai Juni ini, stimulus sudah terealisasi serapannya sekitar 29,9% atau Rp 209 triliun, dari pagu anggaran PCPEN tahun 2021 senilai Rp 699,4 triliun. Artinya, ada kenaikan Rp 86,7 triliun dari realisasi kuartal I-2021 sebesar Rp 123,2 triliun. Anggaran PCPEN pada 2021 juga naik dibanding realisasi tahun lalu sebesar Rp 579,8 triliun, dari total pagu tahun 2020 sebesar Rp 695,2 triliun. Jika dirinci, realiasasi stimulus untuk insentif usaha menembus 79,9%. Berikutnya untuk perlindungan sosial 39,2%, program prioritas 28%, dukungan korporasi 21%, dan bidang kesehatan 18,8%. Alhasil, meski ekonomi Indonesia masih kontraksi 0,74% pada kuartal I-2021, namun sudah jauh membaik dibanding tahun lalu. Setelah merebak pandemi, ekonomi nasional terkontraksi dalam hingga 5,32% pada kuartal II-2020, dan berlanjut pada kuartal III sebesar 3,49% atau resmi memasuki resesi. Sedangkan pada kuartal IV mulai membaik, dengan minus 2,19%. Perekonomian diperkirakan kembali tumbuh positif kuartal II-2021, menembus 7-8% year on year. Tahun ini, ekonomi diproyeksikan bisa tumbuh positif di kisaran 4,5-5,3%, meski di bawah asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2021 sebesar 4,5-5,5%. Optimisme itu ditopang data Purchasing Managers Index yang mencetak rekor tertinggi 55,3 pada Mei lalu, atau memasuki ekspansi. Selain itu, terjadi kenaikan penjualan ritel, serta lonjakan penjualan mobil dan properti dengan diberlakukannya diskon pajak besar-besaran. Di masa pandemi Covid-19 dan pemulihan, memang bisnis masih akan bergerak mengikuti stimulus. Stimulus ini tidak hanya dalam bentuk kucuran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), namun juga berupa pembangunan infrastruktur yang masif, yang akan menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi di daerah dan menyerap kembali jutaan tenaga kerja yang saat ini kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kebijakan investasi besar-besaran infrastruktur untuk stimulus ekonomi pascapandemi Covid-19 itu juga dilakukan negara maju, seperti Amerika Serikat. Kebijakan ini makin urgen di negara berkembang seperti Indonesia, apalagi infrastruktur di Tanah Air masih ketinggalan. Percepatan pembangunan infrastruktur strategis inilah yang menjadi prasyarat untuk melakukan reformasi struktural, guna mengubah ekonomi dari berbasis komoditas menjadi industri manufaktur dan jasa bernilai tambah tinggi.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only