PEKAN lalu, majalah The Economist menulis artikel panjang tentang kian tidak populernya surga pajak dan rezim pajak rendah di berbagai negara. Dalam artikelnya berjudul Twilight of the Tax Haven tersebut, Economist memaparkan tentang tekanan negara-negara kaya, khususnya yang tergabung dalam G-7, agar semua negara menerapkan pungutan pajak minimum.
Jika proposal itu gol, rezim pajak rendah, bahkan pajak 0%, akan berakhir. Majalah yang berbasis di Inggris itu menggambarkan bahwa selama ini terjadi ‘pertarungan’ perusahaan multinasional raksasa versus negara. Semua revolusi, tulis The Economist, memiliki pemenang dan pecundang.
Dalam kasus ini, pemenang yang paling jelas ialah ekonomi besar. Perusahaan multinasional menghasilkan banyak penjualan, tetapi membukukan laba kena pajak yang relatif sedikit, berkat perencanaan pajak yang dialirkan ke yurisdiksi pajak rendah. Keadaan jomplang ini telah berkembang seiring dengan munculnya raksasa digital, seperti Apple dan Google, yang asetnya sebagian besar tidak berwujud.
Negara-negara miskin tempat perusahaan global memiliki pabrik dan operasi lainnya juga mendapat keuntungan, tapi tidak sebanyak yang mereka kira seharusnya. Sebuah studi pada 2018 menyimpulkan bahwa sekitar 40% dari keuntungan perusahaan multinasional dialihkan ke negara-negara dengan pajak rendah. Untuk itulah, negara-negara G-7 mendesakkan proposalnya itu. Sejumlah negara juga mulai menghilangkan aturan pajak rendah mereka. Sejak akhir 2019, misalnya, Uni Eropa (UE) mencoret Swiss, Uni Emirat Arab, dan Kepulauan Mauritius dari daftar negara suaka pajak (tax haven). Ketiga negara itu dinilai telah berkomitmen mengubah aturan pajak mereka agar sesuai dengan standar UE.
Pada akhir 2017, UE yang beranggotakan 28 negara itu pernah membuat daftar hitam dan daftar abu-abu negara yang kerap menjadi tujuan para pengemplang pajak. Daftar itu dibentuk setelah terungkap skema penghindaran pajak luas yang biasa digunakan perusahaan maupun individu untuk menurunkan tagihan pajak mereka. Gempuran terhadap wilayah surga pajak pun bakal berlanjut.
Lalu, apa untungnya situasi tersebut buat Indonesia? Secara signifikan, memang belum terlalu tampak pengaruhnya bagi penerimaan Indonesia. Namun, kian banyaknya tekanan terhadap wilayah surga pajak membuat transparansi global semakin meningkat. Dengan begitu, kemungkinan gerak pengemplang pajak tak lagi sebebas sebelumnya.
Apalagi, Indonesia terus menjalin kerja sama pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan dengan sejumlah negara, termasuk dengan negara yang sebelumnya masuk kawasan surga pajak seperti Swiss. Semakin banyak negara bekerja sama dalam pertukaran informasi dan transparansi dengan Indonesia, di mana pun dana ditempatkan akan mudah dideteksi.
Selama ini, pemerintah dibuat masygul oleh ulah para pengemplang pajak. Itu pula yang membuat program tax amnesty yang pernah ditempuh Indonesia pada 2017 tidak menggembirakan. Berdasarkan data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, jumlah dana yang berhasil dibawa masuk ke Indonesia (repatriasi) dari program pengampunan pajak tersebut Rp146,7 triliun atau hanya sekitar 3% dari total deklarasi harta yang mencapai Rp4.669 triliun.
Dana repatriasi tersebut didominasi enam negara, yaitu Singapura Rp84,52 triliun, Caymand Island Rp16,51 triliun, Hong Kong Rp16,28 triliun, Virgin Island Rp6,58 triliun, dan Tiongkok Rp3,65 triliun. Sebagian wilayah tersebut tergolong surga pajak.
Kini, pemerintah bermaksud mengulangi lagi tax amnesty jilid II. Harapannya, dana repatriasi yang didulang melampaui dari apa yang didapat dari pengampunan pajak jilid I. Selain itu, deklarasi harta juga meningkat, data babon wajib pajak lebih lengkap nan akurat, walhasil rasio pajak terhadap produk domestik bruto juga meningkat. Pro dan kontra pun terjadi.
Saya sepakat dengan pengampunan pajak jilid II tersebut dengan syarat kali ini yang terakhir, tidak ada jilid lanjutan. Selain itu, tax amnesty wajib dibarengi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh. Tanpa itu, pengampunan pajak sekadar cara instan yang tak berpengaruh jangka panjang pada rasio perpajakan kita. Tanpa itu, pengampunan pajak II tidak akan menyelesaikan masalah kekurangan pajak atau shortfall pajak yang dialami Indonesia.
Hingga kini, tax ratio kita tak pernah menyentuh angka 15% sesuai dengan standar internasional. Direktorat Jenderal Pajak mencatat, dalam 10 tahun terakhir, capaian tertinggi tax ratio terjadi pada 2012, yakni 14%. Selebihnya di rentang 10,7% hingga 13,8%. Tahun lalu, karena dampak pandemi covid-19 tax ratio kita malah di bawah 10%. Tahun ini ditargetkan kurang dari 9%.
Era pajak rendah dan surga pajak yang kian memasuki senja kala mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin bagi Indonesia untuk lebih fokus dalam mereformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. Dengan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel akan menghasilkan penerimaan yang optimal dan berkelanjutan.
Sumber: medcom.id, Rabu 9 Juni 2021
Leave a Reply