Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Jakarta menganggap rencana pemerintah menyasar jasa pendidikan untuk dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sangat membebani masyarakat. Ketua Umum BMPS Jakarta, Imam Parikesit, menyatakan langkah pemerintah itu bisa berpotensi melanggar konstitusi.
“Dalam konstitusi, disebutkan bahwa, pemerintah berkewajiban penuh menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika tidak ditunaikan secara optimal, sama dengan mengabaikan konstitusi,” kata Imam dalam keterangan tulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (16/6/2021).
Penerapan PPN bidang pendidikan, lanjut Imam dianggap bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya pasal tersebut mengandung beberapa perintah :
a. Pertama, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
b. Kedua, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
c. Ketiga, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
d. Keempat, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
“Kelima, pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia,” ujar Imam.
Imam menyatakan, pihaknya menolak jika kebijakan
penerapan PPn di bidang pendidikan dikenakan kepada sekolah swasta secara menyeluruh (tanpa kecuali). Imam mengusulkan supaya pemerintah tetap mempertahankan Peraturan Menteri Keuangan nomor 233/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang tidak dikenai PPN.
Tak Buat Anak Putus Sekolah
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Neilmaldrin Noor, menegaskan bahwa rencana Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan membuat angka putus sekolah meningkat. Pasalnya, PPN ini akan dikenakan untuk jasa pendidikan dengan iuran dalam batas tertentu.
“Informasi beredar yang saya baca itu bahwa nanti ini bisa putus sekolah dan lainnya. Tentunya bukan seperti itu, ini adalah pendidikan yang dirasakan atau konsumsi atau dimiliki oleh masyarakat yang memiliki daya beli jauh berbeda,” ungkap Neilmaldrin dalam media brifing pada Senin (14/6/2021).
Dijelaskannya, akan ada pembeda barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat sesuai dengan ability to pay atau kemampuan beli atau konsumsinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk PPN sembako, tapi juga pendidikan.
Untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, katanya, akan tetap mendapat bantuan yakni baik itu barang atau jasa akan dikenakan tarif jauh lebih rendah lagi. Namun untuk barang dan jasa tertentu yang menargetkan masyarakat dengan kemampuan daya beli lebih tinggi akan dikenakan PPN.
Seperti halnya sembako, jasa pendidikan juga memiliki rentang yang sangat luas termasuk soal biayanya. Sehingga dinilai kurangnya rasa keadilan jika objek pajak yang sama yang dikonsumsi oleh golongan penghasilan berbeda sama-sama dikecualikan dari pengenaan PPN.
“Yang namanya jasa pendidikan itu juga rentangnya luas sekali. Jasa pendidikan yang kena PPN, yang mengutip iuran dalam jumlah batasan tertentu yang nanti harusnya dikenakan PPN,” jelas Neilmaldrin.
Sayangnya, ia enggan merinci batasan biaya pendidikan yang akan dikenakan PPN. Namun, penetapan tarif ini akan dibedakan dalam dua bentuk yaitu jasa pendidikan komersial dan misi sosial.
“Supaya lebih jelas bahwa jasa pendidikan yang sifatnya komersial dalam batasan tertentu ini akan dikenakan PPN. Sementara jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, kemudian dinikmati masyarakat banyak pada umumnya seperti SD negeri dan sebagainya tidak dikenakan PPN,” tuturnya.
Sumber: merdeka.com
Leave a Reply