Demi Gaet Investor, Pajak Migas Dipangkas 50%, Mungkinkah?

Jakarta – Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) demi menggaet investor, salah satunya dengan memberikan insentif.

Apalagi, pada 2030 mendatang pemerintah menargetkan produksi minyak 1 juta barel per hari (bph) dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD), tentunya ini membutuhkan upaya luar biasa untuk bisa kembali menggairahkan investasi hulu migas.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (21/06/2021) menjelaskan insentif untuk hulu migas ini bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni berupa pajak dan non pajak. Kewenangan penentuan insentif berupa pajak ada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Akan tetapi menurut Djoko, Kementerian ESDM bisa saja mengusulkan besaran pajak baru industri hulu migas. Saat ini besaran pajak industri hulu migas menurutnya sekitar 40-45%. Namun, demi menarik investor, bisa saja pajak tersebut diusulkan untuk dipangkas misalnya hingga separuhnya atau 50%.

“Pajak kewenangan di Kemenkeu, kita bisa usulkan, pajak di hulu migas besarnya 40-45%, kurangi saja misalnya 50% dipotong,” ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (21/06/2021).

Menurutnya, soal besaran pajak bisa juga berkaca pada negara lain, berapa pajak yang mereka terapkan di Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Lalu, dicari negara mana yang paling kecil menerapkan pajak, sehingga bisa dijadikan sebagai contoh.

“Atau lihat saja negara lain, berapa pajak yang mereka terapkan di kontrak PSC-nya, yang paling kecil terapkan pajak kita contoh,” imbuhnya.

Insentif selanjutnya di sektor non pajak, misalnya saja dengan melelang bagi hasil produksi (split) seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Investor tawarkan split, nantinya split yang paling besar untuk negara akan menjadi pemenang lelang.

“Seperti yang dilakukan oleh Malaysia Petronas, split-nya di lelang, kontraktor yang tawarkan split, yang paling besar bagi negara itulah pemenang lelangnya,” jelas Djoko.

Lebih lanjut dia mengatakan, Komitmen Kerja Pasti (KKP) juga bisa dilelang. Misalnya ada kontraktor yang berkomitmen melakukan seismik 100 km dan lainnya 50 km, artinya 100 km ini yang menang. Lalu juga misalnya ada yang menawarkan pengeboran empat sumur dan lainnya dua sumur, yang berencana mengebor empat sumur inilah yang menang.

“Ngebor sumur misal Eni, yang kemarin menang di West Ganal tawarkan empat sumur, lainnya dua sumur, yang empat sumur inilah yang menang,” ujarnya.

Kemudian, pajak-pajak lain yang tertuang di dalam PSC, dia mengusulkan untuk dihapuskan saja, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya, sehingga hanya ada satu saja pajak yang ada di dalam kontrak. Pajak ini dihitung setelah adanya keuntungan.

“Sebelum ada profit, pajak-pajak lain dihapus, intinya adalah bagaimana kita bisa terapkan fiscal term lebih baik dari negara lainnya yang produksi minyak dan gas. Mana negara paling kecil terapkan pajak, simpel pajak, baik split-nya. Tiru saja kalau sudah lakukan itu, saya yakin investor akan datang ke Indonesia,” paparnya.

Sumber : CNBC Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only